Friday, October 23, 2009

Tien Xia Wu Jing - Bab 2 Tugas Negara dan Keluarga (bagian 2)

Panglima Lin Tung membedal kudanya dengan gagah membelah barisan prajurit yang berbaris rapi di sebelah timur kotaraja. Baju perangnya yang berwarna emas berkilauan ditimpa sinar matahari. Hari itu udara pagi sangat cerah dan matahari bersinar terang tanpa awan. Ribuan kuda meringkik-ringkik tidak sabar segera ingin berangkat menuju medan perang. Suasananya benar-benar membuat mereka yang melihatnya menjadi kagum dan tertekan oleh kehebatan pasukan kerajaan dinasti Tang.

Sebuah panggung besar didirikan tepat di tengah-tengah barisan prajurit. Puluhan kasim pelayan dan pengawal istana berjalan bersama sebuah kereta yang dilapisi emas menuju ke panggung besar itu. Keempat jenderal bawahan panglima Lin Tung dengan berpakaian perang lengkap berdiri berjajar di bawah panggung untuk menyambut kedatangan permaisuri Wu.

“Yang Mulia tiba!!”

Seluruh pasukan langsung memberi hormat. Gemuruh sepuluh ribu pasukan menggema bagaikan mengguncang langit. Permaisuri Wu turun dengan dibantu para dayang dan kasim. Seorang wanita muda berparas cantik, berpakaian hijau dan berkulit putih bagaikan marmer berjalan di belakang permaisuri Wu dengan membawa pedang kerajaan bersarung emas dan berukir kepala naga. Ia adalah pelayan kepercayaan permaisuri Wu bernama Shangguan Wan Er.

Permaisuri Wu berjalan dengan anggun hingga sampai di puncak panggung besar. Dengan satu kibasan tangan ia memberikan tanda bahwa hormat para prajurit diterima. Segera semua yang hadir bangkit berdiri. Suara gemuruh baju besi dan pedang serta tombak perang bagai memecahkan gendang telinga.

Panglima Lin Tung membedal kudanya dengan sigap hingga sampai ke depan panggung. Ia segera turun dari kudanya begitu tiba dan berlari hingga sampai di depan permaisuri Wu. Panglima Lin Tung memberi salam dan menjura dengan hormat.

“Yang Mulia panjang umur sepuluh ribu tahun!”

“Hmm. Panglima Lin, tampaknya seluruh pasukan sudah siap berangkat ke Liao Dong sekarang” kata permaisuri Wu.

“Benar, Yang Mulia. Sepuluh ribu pasukan sudah siap berangkat”

“Bagus. Hancurkan para pemberontak dan tegakkan dinasti Tang!” kata permaisuri Wu dengan tegas.

“Hamba, Panglima Naga Emas siap menjalankan perintah!” kata panglima Lin Tung dengan bersemangat.

Permaisuri Wu memberikan tanda kepada Shangguan Wan Er dengan tangannya dan yang dituju langsung maju ke depan dengan membawa pedang kerajaan. Pedang itu diangkat oleh Permaisuri Wu dan diberikan kepada panglima Lin Tung.

“Panglima, pedang Huang Lung (Naga Kuning) ini adalah simbol kaisar sendiri. Bawalah dan jadikan kejayaan dinasti Tang. Siapapun yang menentang perintahmu, bunuh dulu dengan pedang ini dan baru kemudian laporkan kepadaku” kata permaisuri Wu.

“Panjang umur Yang Mulia” kata panglima Lin Tung sambil menerima pedang kerajaan itu dengan hormat.

“Sekarang berangkatlah. Aku menunggu kabar baik darimu panglima Lin” kata permaisuri Wu.

“Hamba tidak akan mengecewakan harapan Yang Mulia” kata panglima Lin Tung.

“Bagus! Sekarang aku tidak cemas lagi”

Panglima Lin Tung mundur dari panggung besar dan segera menuruni tangga. Ia naik ke atas kudanya dan mengacungkan pedang Naga Kuning tinggi-tinggi ke udara.

“Atas perintah Yang Mulia, pasukan Naga Emas menuju Liao Dong menumpas para pemberontak!” seru panglima Lin Tung dengan gagah.

“Tumpas pemberontak! Tumpas pemberontak!” seru semua prajurit sehingga mengguncangkan langit.

Panglima Lin Tung membungkukkan badan di atas kudanya kepada permaisuri Wu dengan hormat sebagai tanda pamit sebelum berangkat. Keempat jenderalnya segera membedal kuda masing-masing dan memberangkatkan pasukan mereka. Ribuan hentakan kaki prajurit menggetarkan bumi dan mereka yang melihatnya.

Permaisuri Wu berdiri di atas panggung besar terus melihat para prajurit yang berangkat hingga hilang di belokan bukit. Setelah itu permaisuri Wu menghembuskan napas panjang dan berkata kepada dirinya sendiri:

“Pohon apel dikorbankan untuk pohon persik jika ulat-ulat datang menyerang”

“Yang Mulia, apakah ini benar?!” bisik Shangguan Wan Er di samping sang permaisuri Wu.

“Aku tidak punya banyak pilihan, Wan Er. Kejayaan dinasti Tang lebih penting daripada nyawa sepuluh ribu prajurit. Dan juga panglima Naga Emas”

**

Pasukan panglima Lin Tung bergerak dengan cepat dan teratur menuju ke utara. Mereka melewati puluhan kota kecil dan besar, menembus hutan dan sungai, mengular bagaikan naga raksasa melintasi bumi. Sepanjang jalan rakyat berkumpul dan memuji pasukan itu setelah melihat panji-panji bertuliskan Panglima Naga Emas Lin Tung. Pasukan ini dikenal disiplin dan tidak pernah menyengsarakan rakyat sehingga sangat disanjung oleh rakyat jelata.

“Jenderal Zhi Lu, kota apakah yang berada di depan kita?” tanya panglima Lin Tung ketika melihat sebuah kota tampak di kejauhan.

“Lapor Panglima Lin, di depan kita adalah kota Bing Yuan. Pasukan yang bertugas di sana adalah pasukan komandan Wu Gan” jawab jenderal Zhi Lu.

“Kota Bing Yuan ya?! Tidak terasa kita sudah sampai dekat wilayah Liao Dong. Aku punya teman baik di sini. Semoga ia sudah mendengar kedatanganku” kata panglima Lin Tung dengan pandangan menerawang jauh.

Seakan menjawab pikirannya, dari kejauhan tampak debu mengepul tinggi. Lima orang pemuda tampak sedang membedal kudanya dengan cepat sekali menuju ke arah pasukan panglima Lin Tung. Jenderal Zhi Lu langsung waspada dan bersiap tapi panglima Lin Tung menenangkannya.

“Aku tahu siapa kelima pemuda itu” kata panglima Lin Tung.

Kelima pemuda yang memacu kudanya itu mulai mendekat dengan cepat. Panji yang mereka bawa berkibar-kibar bertuliskan “Perguruan Elang Emas” (Cing Ying Bai). Panglima Lin Tung tersenyum pada dirinya sendiri dan berkata:

“Rupanya si elang busuk itu masih belum melupakan aku”

Pemuda yang sampai paling dulu tampaknya adalah yang tertua di antara mereka berlima. Umurnya sekitar dua puluh tahun. Wajahnya tegas dengan alis mata yang tebal. Ia memakai baju hitam dengan ikat kepala putih. Empat pemuda yang lain tampaknya adalah murid-murid muda dari Perguruan Elang Emas. Usia mereka mungkin baru sekitar lima belas tahun. Mereka semua tampak bersemangat dan kelihatannya baru pertama kali ini melihat pasukan perang dalam kumpulan besar.

“Hormat kepada panglima Naga Emas!” seru kelima pemuda tadi sambil meloncat turun dan menjura.

“Kalian semua murid perguruan Elang Emas?!” tanya Lin Tung setelah membalas salam kelima pemuda tadi.

“Benar panglima. Aku murid tertua (Ta Se-siung). Namaku adalah Cheng Gao. Keempat orang ini adalah adik seperguruanku” kata pemuda yang paling tua itu memperkenalkan diri.

“Rupanya dia sudah mempunyai banyak murid sekarang” kata panglima Lin Tung tersenyum.

“Perguruan kami tidak besar. Jumlah seluruh murid perguruan hanya delapan belas orang. Guru (Se-fu) tidak berkenan menerima murid yang tidak berbudi dan berbakat” kata Cheng Gao.

“Iya, aku tahu dia selalu begitu. Sekarang di mana gurumu?”

“Guru menanti di gerbang kota bersama komandan Wu Gan. Guru sudah mendengar kabar kedatangan panglima sejak sepuluh hari lalu. Beliau sangat senang sehingga mempersiapkan diri menyambut di depan gerbang kota. Kami berlima diminta datang dulu kemari untuk memberitahukan kepada panglima Lin Tung” jawab Cheng Gao menerangkan.

“Bagus. Kebetulan pasukan akan berkemah sehari di sini. Aku bisa bertemu dengan gurumu dan berbincang-bincang tentang masa lalu sampai puas malam ini. Jenderal Zhi Lu, atur barisan untuk berkemah di sebelah bukit selatan kota Bing Yuan. Kita akan berangkat lagi besok pagi” kata panglima Lin Tung dengan gembira.

“Siap panglima!”

Jenderal Zhi Lu memberikan tanda kepada pasukan untuk mengikuti dirinya ke arah selatan kota. Sementara itu beberapa pengawal panglima Lin Tung langsung berbaris di belakang kuda sang panglima dan siap berangkat tapi Lin Tung memberi perintah agar mereka kembali bergabung dengan pasukan utama.

“Hari ini aku akan bertemu teman lama. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Kalian beristirahat saja hari ini”

“Siap panglima!” seru para pengawal dan bergegas pergi bergabung dengan pasukan utama di bawah jenderal Zhi Lu.

“Nah, sekarang tunjukkan jalan” kata panglima Lin Tung kepada Cheng Gao.

“Baik, panglima Lin. Silakan ikuti kami!” kata Cheng Gao bersemangat.

Mereka berenam berkuda bersama-sama menuju gerbang kota. Di atas gerbang kota, tampak seorang komandan bersama seorang berpakaian sutra biru tengah mengawasi kedatangan sang panglima. Wajah pria berpakaian sutra biru itu cerah dan menunjukkan keterbukaan. Alisnya lurus dan tebal. Hidungnya mancung dan mulutnya bagus. Sungguh seorang pria yang tampan. Ia tampak berseri-seri dan gembira melihat kedatangan sang panglima Naga Emas.

“Akhirnya datang juga sang panglima Naga Emas” kata komandan kota yang bernama Wu Gan itu.

“Benar. Sekarang aku akan menyambutnya!” seru pria itu sambil melompat ke bawah langsung dari atas tembok kota.

Komandan Wu Gan berseru kaget. Tinggi tembok kota Bing Yuan memang tidak setinggi tembok kotaraja, tapi tetap saja tingginya hampir lima tombak. Salah jatuh, patah kaki saja sudah bisa dianggap beruntung. Tapi pria berpakaian sutra biru itu bagaikan sehelai bulu yang melayang ringan dan turun di bawah tanpa menyebabkan satu butirpun kerikil bergerak. Ini menandakan bahwa ilmunya bukanlah ilmu sembarangan saja. Panglima Lin Tung yang melihat hal ini dari atas sadel kudanya tertawa lebar.

“Hahahaa, masih tetap tukang pamer!”

“Panglima Lin, itu guru ka…..”

Belum selesai perkataan Cheng Gao, panglima Lin Tung sudah menjejak sadel kudanya dan melayang ke arah pria berpakaian sutra biru itu. Tinjunya mengepal penuh tenaga dalam mengarah ke dada lawan. Cheng Gao dan keempat pemuda lainnya berseru kaget memperingatkan guru mereka.

“Dasar kau berandal!” teriak pria itu sambil tertawa dan menyambut serangan panglima Lin.

Tinju panglima Lin yang penuh tenaga dihadapi dengan cakar elang oleh pria berbaju biru. Pergelangan tangan panglima Lin Tung dipelintir dan tinjunya diarahkan ke tanah.

“Blarrr!!!”

Debu dan kerikil beterbangan membentuk kabut tipis ketika tinju panglima Lin Tung meledakkan tanah. Kuda-kuda Cheng Gao dan lainnya meringkik ketakutan. Komandan Wu Gan sangat terkejut dengan kejadian ini dan segera memerintahkan para prajuritnya maju ke depan gerbang.

Sementara itu pertarungan antara panglima Lin Tung dan pria berbaju biru itu tetap berlanjut. Keduanya terlihat begitu gembira bertarung seakan-akan menikmati setiap jurus yang dikeluarkan lawan. Setelah bertarung hampir dua puluh jurus, keduanya melompat ke belakang dan tertawa terbahak-bahak. Cheng Gao, para murid serta komandan Wu Gan bersama prajuritnya menjadi terheran-heran melihat kejadian ini.

“Hahahah, kau elang busuk! Ternyata lima tahun tidak bertemu, masih tetap tangguh juga!” teriak panglima Lin Tung dengan senangnya.

“Kau juga! Bagaimana rasanya sekarang menjadi panglima?!” teriak pria berbaju biru dengan tersenyum lebar.

“Yung Lang, senang sekali bisa bertemu denganmu lagi!!”

“Lin Tung, aku juga! Apalagi ketika kudengar kau diangkat menjadi salah satu dari San Lung Ta Ciang (Tiga Panglima Naga). Akhirnya tercapai juga cita-citamu” kata pria berbaju biru yang tak lain adalah Yung Lang sang ketua perguruan Elang Emas.

Kedua sahabat lama itu berangkulan dan tertawa dengan gembira. Komandan Wu Gan yang semula khawatir menjadi lega melihat perkembangan ini. Cheng Gao dan keempat murid lainnya juga menjadi senang melihat guru mereka terlihat sangat gembira.

“Hari ini siapa yang tidak mabuk adalah kura-kura!” kata Yung Lang.

“Baik! Siapa takut!” kata panglima Lin Tung tidak mau kalah.

Murid-muridku! Hari ini aku senang sekali. Kalian boleh berlibur satu hari ini tanpa latihan!” teriak Yung Lang kepada para muridnya.

“Komandan Wu, hari ini aku hanyalah orang biasa. Kau tidak perlu terlalu hormat kepadaku. Pimpinan pasukan dipegang jenderal Zhi Lu dan mereka berkemah di selatan kota. Harap engkau pastikan kebutuhan pasukan” kata panglima Lin Tung.

“Siap panglima!” kata komandan Wu Gan sambil menjura hormat.

“Kau sekarang sudah menjadi panglima hebat dan dihormati banyak orang rupanya” kata Yung Lang menggoda.

“Kau selalu mengejekku ya Yung Lang” kata panglima Lin Tung.

Komandan Wu Gan menyerahkan kudanya kepada panglima Lin Tung kemudian pamit menemui pasukan utama di selatan kota Bing Yuan. Sekarang panglima Lin Tung, Yung Lang dan kelima muridnya menunggang kuda dengan santai menuju perguruan Elang Emas. Kedua sahabat lama itu bercakap-cakap dengan gembira sepanjang perjalanan hingga tiba di depan sebuah rumah besar berhalaman luas. Sebuah papan bertuliskan huruf emas tergantung di atas pintu utama.

“Perguruan Elang Emas! Yung Lang, ternyata cita-citamu mengharumkan nama keluarga tercapai juga” kata panglima Lin Tung sekarang balas menyindir.

“Hahaha, iya. Hanya perguruan kecil di kota kecil. Bukan apa-apa” kata Yung Lang merendah.

“Sekarang kudengar banyak partai bermunculan dan saling berebut pengaruh” kata panglima Lin Tung.

“Benar. Itu sebabnya aku tidak ingin terlalu ikut campur masalah dunia persilatan. Perguruan kecil di kota kecil tidak akan menarik perhatian partai besar seperti Tung Jiang (Tembok Timur) maupun Jai Sen Hui (Perkumpulan Dewa Uang). Merekalah sekarang ikan besarnya” kata Yung Lang dengan santai.

“Iya, aku juga sering mendengar tentang mereka” timpal panglima Lin Tung.

“Nah, selamat datang di rumahku yang sederhana!” seru Yung Lang sambil melompat turun dari kudanya.

Yung Lang bergegas masuk ke dalam perguruannya. Ia memerintahkan dua pelayan untuk membawakan anggur terbaik. Sementara itu Cheng Gao dan murid-murid lainnya mengurus kuda-kuda dan membawanya ke belakang. Panglima Lin Tung berdiri di tengah halaman depan dan memandang pedang dan alat-alat latihan lain yang berjajar rapi di tembok.

“Hari ini semua murid aku liburkan karena aku mendengar kau akan datang. Hanya murid tertua Cheng Gao dan empat lainnya yang masuk. Mungkin sekarang mereka juga sudah kembali pulang” kata Yung Lang.

“Perguruanmu cukup bagus” puji panglima Lin Tung.

“Iya, dulu uang pemberian kerajaan dibelikan rumah ini oleh Chung Ye. Ia senang dengan kota ini dan terutama ia takut uangnya habis kubelikan minuman” kata Yung Lang sambil tertawa.

“Ah, ya. Bagaimana kabarnya dengan Yung Fu-ren (nyonya Yung)?” tanya panglima Lin Tung.

“Aku baik-baik saja panglima Lin. Terima kasih atas perhatiannnya” sahut suara seorang wanita di belakang mereka.

Panglima Lin Tung dan Yung Lang segera menoleh ke belakang. Seorang wanita di usia pertengahan tiga puluhan memakai gaun berwarna putih yang sangat bagus berjalan mendekati mereka berdua. Wajahnya putih bersih. Alisnya panjang dan tebal, matanya bulat cerah dan bibirnya merah merekah. Kecantikannya ditambah lagi dengan hiasan tusuk rambut berbentuk burung hong emas yang menghiasi rambutnya yang tebal.

“Yung Fu-ren tidak berubah selama lima tahun ini” kata panglima Lin Tung.

“Panglima Lin terlalu memuji” kata Chung Ye sambil memberikan salam hormat dengan merendahkan badan.

“Hari ini kau dan aku akan bersenang-senang! Mari masuk ke dalam” ajak Yung Lang sambil menggandeng panglima Lin Tung masuk ke dalam.

Di ruang dalam sudah disiapkan perjamuan dengan berbagai macam makanan khas daerah utara. Tapi yang paling menyenangkan adalah arak terbagus yang memang dibeli Yung Lang untuk menjamu teman lamanya itu. Arak Gadis Merah (Ni Er Hong) yang terkenal tersedia sekitar sepuluh guci. Baunya memenuhi ruangan sehingga sangat menggoda panglima Lin Tung.

“Nah, kau pasti dalam perjalanan kemari kehausan. Apalagi selama menjadi pemimpin pasukan tidak boleh menyentuh arak. Sekarang saatnya memuaskan diri bersama teman lama” kata Yung Lang sambil mengangkat sekendi arak.

“Hahaha, bagus! Yung Lang, kau sangat mengerti diriku! Mari tuangkan” kata panglima Lin Tung dengan gembira.

Dalam sekejap satu guci arak sudah habis diteguk mereka berdua. Guci kedua, ketiga, keempat segera menyusul. Tidak terasa matahari sudah berada di ufuk barat ketika mereka menghabiskan guci kelima. Para pelayan mulai menyalakan lilin dan lentera untuk menerangi ruangan dalam dan luar perguruan Elang Emas.

“Hari ini aku benar-benar gembira. Benar-benar gembira!” seru Yung Lang yang mulai mabuk arak.

“Eh, Yung Lang kau sudah mulai mabuk. Sebaiknya berhenti dulu minumnya” kata panglima Lin Tung yang masih terlihat belum terlalu mabuk.

“Mabuk?! Aku tidak mabuk. Aku sudah memesan sepuluh guci arak Ni Er Hong buat kita berdua. Kita baru minum berapa ya?!” kata Yung Lang sambil menghitung guci-guci arak yang kelihatan berbayang baginya di atas meja.

“Sudahlah. Kau sudah mabuk. Kita berhenti dulu” kata panglima Lin Tung.

“Ini guci keenam. Masih ada empat guci lagi. Ayo Lin Tung! Kita habiskan semuanya” kata Yung Lang sambil berusaha berdiri dengan sempoyongan untuk mengambil guci berikutnya.

Panglima Lin Tung dengan sigap memegang Yung Lang yang roboh ke depan ketika hendak meraih guci arak ketujuh. Rupanya Yung Lang benar-benar mabuk berat karena langsung mendengkur. Dua pelayan segera membantu membopong tubuh Yung Lang masuk ke kamar utama. Chung Ye segera keluar untuk menemui panglima Lin Tung ketika melihat suaminya dibawa masuk dalam keadaan mabuk berat dan mendengkur.

“Panglima Lin Tung, maafkan suamiku tidak bisa menemani anda lagi” kata Chung Ye.

“Ah, tidak apa-apa. Aku senang melihat Yung Lang begitu bersemangat hari ini” kata panglima Lin Tung sambil mengendurkan ikatan jubahnya agar bisa duduk lebih santai. Baju besinya yang berat sudah disandarkan di sebuah kursi tapi tetap saja kain pelindung dadanya masih membebani.

“Benar, suamiku tidak pernah minum sedemikian gembira selama lima tahun terakhir ini” kata Chung Ye membenarkan.

“Ia menghabiskan hampir semuanya sendirian. Mungkin aku hanya minum satu guci sedangkan ia lima guci. Tidak heran ia mabuk berat” kata panglima Lin Tung sambil menggelengkan kepalanya.

“Panglima, kami sudah menyiapkan kamar tamu untuk anda. Jika anda ingin beristirahat sekarang, para pelayan akan mengantarkan anda ke kamar” kata Chung Ye.

“Benar, besok pagi-pagi aku harus berangkat kembali. Tapi sebelumnya aku ingin membicarakan satu hal” kata panglima Lin Tung bangkit berdiri dan wajahnya berubah serius.

“Apakah itu panglima Lin?” tanya Chung Ye heran melihat perubahan sikap tamunya itu.

“Ini mengenai pertandingan antara keluarga Yung dan Cen” kata panglima Lin Tung.

“Ah ya, benar. Beberapa bulan lalu kami menerima surat dari Han Fu-ren. Ia mengatakan bahwa anaknya sekarang sudah cukup umur untuk mempertahankan nama keluarga Cen. Tapi Yung Lang tidak menanggapi hal itu dengan serius. Ia menganggap bahwa apa yang terjadi di masa lalu tidak seharusnya kita lanjutkan. Apalagi Han Li De sebenarnya adalah anak dari keluarga Han, sedangkan keluarga Yung.....”

Chung Ye menahan napas sebentar untuk mengatur perasaannya sebelum melanjutkan.

“Keluarga Yung belum mempunyai penerus. Jadi Yung Lang berpikir apakah tidak sebaiknya pertandingan itu dibatalkan saja”

“Aku juga berkata demikian kepada Han Fu-ren sebelum berangkat kemari, tapi ia tidak mau mendengarkan. Ia menganggap pertandingan ini nantinya akan menjadi pembelajaran yang baik bagi Han Li De untuk menjadi pendekar pedang. Bahkan ia menetapkan tanggal satu bulan depan sebagai tanggal pertandingan. Ia tahu aku pasti akan mampir kemari jadi Han Fu-ren menitipkan pesan ini kepadaku. Aku harap Yung Fu-ren bersedia membicarakan masalah ini nantinya dengan Yung Lang” kata panglima Lin Tung.

“Panglima Lin tidak perlu khawatir. Aku pasti akan membicarakan hal ini baik-baik dengan suamiku” kata Chung Ye.

“Aku menjadi lega mendengarnya. Sekarang saya mohon undur diri dulu untuk beristirahat” kata panglima Lin Tung menutup pembicaraan.

“Silakan” kata Chung Ye sambil meminta dua pelayan untuk mengantarkan tamunya ke kamar.

Setelah semua selesai, Chung Ye kembali ke kamar utama. Ia menutup pintu dengan hati-hati ketika melihat suaminya masih mendengkur dengan pulas. Chung Ye berjalan hati-hati menuju pembaringan tempat Yung Lang tidur dan menyelimutinya dengan penuh rasa sayang. Yung Lang yang merasa terganggu hanya membalikkan diri sambil melenguh kemudian mendengkur lagi dengan keras.

Chung Ye tahu bahwa suaminya tidak hanya gembira menemui sahabatnya yang sudah lama tidak bertemu pada hari ini. Tapi ada alasan lain mengapa Yung Lang membenamkan dirinya dalam arak setiap ada kesempatan. Dua partai besar, Tembok Timur dan Perkumpulan Dewa Uang sudah beberapa lama berebut pengaruh dan sekarang adalah puncaknya. Setiap partai kecil diminta memilih antara Tembok Timur atau Perkumpulan Dewa Uang sebagai induk mereka. Seluruh perguruan kecil di wilayah dekat Tembok Besar sudah menyatakan sikap dan mungkin hanya Perguruan Elang Emas yang masih tetap berusaha tidak memihak.

Sikap seperti ini jelas dianggap sebagai penentangan oleh dua partai besar itu dan mereka tidak henti-hentinya mengirimkan utusan untuk menekan, mengancam dan memaksa Yung Lang mengakui perguruannya adalah cabang dari mereka. Yung Lang tahu ia hanya sendirian dan tidak akan bisa bertahan lama dari tekanan besar tersebut. Sebenarnya Chung Ye tahu bahwa Yung Lang sudah ingin sekali menutup perguruan Elang Emas, hanya saja ia tahu Chung Ye sudah terlanjur menganggap kota Bing Yuan sebagai rumahnya. Sikap seorang pendekar pengembara tentu sangat berbeda dengan seorang wanita rumah tangga. Yang satu ingin kebebasan dan tidak terikat sedangkan yang lain ingin kepastian dan menetap. Chung Ye menyadari bahwa Yung Lang banyak berkorban untuk dirinya.

Sekarang datang lagi masalah baru yang tidak kalah pelik. Keluarga Yung dan keluarga Cen adalah saingan sejak seratus tahun lalu dan tiap generasi mereka selalu mengadu ilmu pedang untuk menunjukkan siapa yang lebih hebat. Tapi pada masa muda Yung Lang, penerus keluarga Cen gugur dan tidak ada lagi yang mengajak tanding. Yung Lang sangat lega mengenai hal ini karena ia menganggap pertandingan antara kedua keluarga tidak ada gunanya selain menambah dendam. Sekarang ternyata nyonya Han malah ingin meneruskan tradisi pertandingan ini, yang tentu saja akan membuat Yung Lang sangat sulit mengambil keputusan. Karena ia belum mempunyai putra maka tentu saja ia sendiri yang akan maju ke depan. Padahal lawan yang dihadapinya adalah keponakan sahabat terbaiknya. Chung Ye tahu Yung Lang pasti tidak ingin bertanding dengan Han Li De. Belum-belum Chung Ye sudah ragu untuk mengatakan hal ini kepada Yung Lang jika ia bangun nanti.

“Suamiku, tidurlah dengan nyenyak” kata Chung Ye dengan penuh kasih membelai rambut suaminya yang tengah tertidur lelap.

**

Panglima Lin Tung memberikan aba-aba kepada semua pasukannya untuk bergerak maju. Suara gemuruh sepuluh ribu prajurit seolah menggetarkan langit dan bumi. Derap langkah kaki mereka yang serentak bagaikan gemuruh badai yang mendekat. Panji-panji berkibaran di mana-mana membuat pemandangan yang menggetarkan hati mereka yang melihatnya.

“Panglima Lin, tunggu!” teriak Cheng Gao yang membedal kudanya melaju mendekati pasukan.

Panglima Lin Tung menunggu kedatangan Cheng Gao yang tiba dengan terengah-engah.

“Anak muda, tenangkan dirimu dulu” kata panglima Lin Tung.

“Maafkan panglima Lin, aku membawa pesan guruku agar panglima berkenan menunggunya sejenak” kata Cheng Gao setelah selesai mengatur napasnya.

“Hmm, baiklah. Aku juga belum sempat berpamitan dengannya. Jenderal Zhu Li, kau atur pasukan berjalan ke utara”

“Siap panglima!” kata jenderal Zhu Li yang segera membedal kudanya ke arah pasukan depan.

Sejenak kemudian tampak Yung Lang membedal kudanya dengan kecepatan tinggi melaju ke arah mereka. Ia melambaikan tangannya dengan gembira ketika melihat panglima Lin Tung berkenan menunggu dirinya.

“Hei, maaf aku bangun terlambat!” seru Yung Lang.

“Dasar kau ini. Tetap saja tidak berubah” kata panglima Lin Tung.

“Hahaha, maaf ya. Kau jadi harus menungguku seperti ini” kata Yung Lang setelah sampai di dekat panglima Lin Tung dan Cheng Gao.

“Tidak apa-apa. Pasukanku adalah pasukan besar. Perjalanan mereka akan dapat dengan mudah kususul dengan kudaku” kata panglima Lin Tung.

“Aku ingin mengucapkan semoga berhasil. Para pemberontak di utara itu adalah sisa-sisa pasukan pemberontak. Aku yakin kau pasti mampu mengalahkan mereka” kata Yung Lang.

“Terima kasih. Aku pasti kembali melewati kota Bing Yuan lagi. Saat itu kau jangan lupa untuk mengajakku minum bersama lagi” kata panglima Lin Tung.

“Ah tentu, tentu sahabatku. Aku sudah menyiapkan sepuluh guci lagi untuk kita berdua” kata Yung Lang dengan gembira.

“Baiklah, aku berangkat sekarang” kata panglima Lin Tung sambil membedal kudanya.

“Sampai jumpa lagi sahabatku!” teriak Yung Lang kepada panglima Lin Tung yang segera menghilang di balik bukit.

Perjalanan panglima Lin Tung dan pasukannya berjalan dengan lancar. Lima hari kemudian mereka tiba di wilayah Liao Dong. Jenderal pasukan perbatasan di sana adalah jenderal Guan Feng Yang. Ia mengepalai lima ribu pasukan tombak dan dua ribu pasukan berkuda. Tapi ketika pasukan panglima Lin Tung tiba di sana, ia hanya diterima seorang komandan bernama Hu Fang, yang merupakan wakil jenderal Guan Feng Yang. Ini tentu saja mengherankan panglima Lin Tung.

“Komandan Hu, mengapa bukan jenderal Guan yang menemuiku?” tanya panglima Lin Tung.

“Maafkan panglima Lin. Jenderal Guan tidak berada di tempat karena sedang mengejar pasukan pemberontak” jawab komandan Hu Fang.

“Oh? Kemana jenderal Guan mengejar para pemberontak?” tanya panglima Lin Tung lagi.

“Pasukan pemberontak tiga hari yang lalu mengacau di sebuah desa kecil di kaki bukit sebelah timur. Bukit itu bernama Ti Suang San (Bukit Tanah Es). Jenderal Guan membawa dua ribu pasukan berkuda untuk mengejar pemberontak, tapi.......”

Komandan Hu Fang terkesan bingung untuk meneruskan.

“Mengapa? Mengapa kau diam komandan Hu?” tanya panglima Lin Tung keheranan melihat sikap komandan Hu Fang.

“Sejak saat itu jenderal Guan dan dua ribu pasukan berkuda tidak pernah kedengaran kabar beritanya lagi” kata komandan Hu Fang.

“Apa maksudmu tidak ada kabar beritanya lagi?! Dua ribu pasukan berkuda tidak mudah untuk bersembunyi bahkan di kawasan pegunungan sekalipun” kata panglima Lin Tung terkejut sekali.

“Benar panglima, hamba sudah memerintahkan ratusan regu pencari tapi sama sekali tidak bisa menemukan mereka. Bahkan tombak atau anak panah satu pun tidak ditemukan. Mereka semua seolah lenyap ditelan bumi”


No comments:

Post a Comment