Friday, October 23, 2009

Tien Xia Wu Jing - Bab 2 Tugas Negara dan Keluarga (bagian 1)

Istana kerajaan dinasti Tang berdiri dengan megah di tengah-tengah kota Chang An. Pusat istana adalah balairung pertemuan yang sangat besar. Di sinilah kaisar melakukan tugasnya sehari-hari mengatur kerajaan. Segala keputusan dilaksanakan di sini termasuk titah kaisar yang paling penting dan mempengaruhi semua orang di dalam kerajaan.

Hari itu seluruh menteri dan jenderal telah berkumpul di dalam balairung dan semua mengenakan pakaian resmi masing-masing. Para pejabat sipil memakai pakaian dan topi pelajar sesuai tingkatan masing-masing, sedangkan para jenderal mengenakan jubah besi dan pelindung dada yang gemerlapan dan bergemerincingan. Semua senjata mereka diletakkan pada para pengawal yang berjaga di depan karena membawa senjata ke depan kaisar hukumannya adalah mati.

Berdiri di jajaran terdepan adalah tiga panglima yang biasa disebut San Lung Ta Ciang (Tiga Panglima Naga). Umur mereka bertiga hampir sepantaran yaitu sekitar empat puluhan. Panglima berpakaian merah adalah Chung Hung yang bergelar Hung Lung (Naga Merah). Tubuhnya kekar, tinggi lebih dari satu tombak, berjambang lebat dan bermata bagaikan elang. Senjata utamanya adalah gada ganda seberat 50 kati dan sangat ditakuti oleh musuh-musuhnya. Ia memimpin pasukan utama kerajaan Tang yang semuanya berjubah merah disebut Pasukan Merah (Hung Ping). Panglima yang berdiri di tengah adalah Lin Tung yang dijuluki Cing Lung (Naga Emas). Ia berdiri gagah dengan baju besi emasnya yang merupakan pemberian kaisar terdahulu. Senjatanya adalah toya besi. Pasukan wilayah seluruhnya berada dalam kekuasaan panglima Lin Tung. Sedangkan panglima ketiga adalah Zhuge Shin yang bergelar Hei Lung (Naga Hitam). Tubuh dan perawakan Zhuge Shin paling kecil di antara ketiganya tapi setiap orang yang bertemu dengannya pasti tidak akan berani meremehkannya. Matanya yang hitam pekat seakan tidak berdasar. Hidungnya mancung dan dahinya lebar menandakan bahwa ia bukan orang sembarangan. Zhuge Shin membawahi pasukan khusus kerajaan yang berjubah hitam dan terkenal tegas dalam menumpas siapapun yang menentang kerajaan. Senjatanya tidak diketahui karena siapapun yang pernah bertarung melawannya tidak pernah ada yang hidup untuk memberitahukan kepada orang lain. Tiga panglima ini adalah pilar dinasti Tang untuk bisa terus tegak berdiri. Semua pejabat dan jenderal sangat menghormati mereka bertiga.

“Yang Mulia Permaisuri tibaa!!”

Dayang-dayang pengiring dan para kasim masuk mendahului permaisuri Wu ke dalam balairung istana. Serentak semua yang hadir langsung berlutut dan memberikan hormat.

“Yang Mulia panjang umur sepuluh ribu tahun!”

Permaisuri Wu di usianya yang sudah tidak muda lagi masih menampakkan kecantikan dan kekuatannya yang tidak terbantahkan. Matanya tajam menyapu semua yang hadir. Ia berjalan dengan tenang menuju singgasana kerajaan dan duduk dengan penuh kewibawaan. Setelah itu ia membalas salam hormat semua pejabat yang hadir. Serentak semua yang hadir kembali berdiri dengan tetap menunduk.

“Hari ini apakah ada yang ingin mengajukan petisi?” tanya sang permaisuri.

Seorang pejabat yang berdiri di barisan belakang segera maju ke depan. Ia membawa sebuah gulungan surat dan menyerahkannya kepada kasim bawahan permaisuri. Sang kasim berlutut di samping permaisuri Wu dan menyerahkan petisi itu tanpa berani memandang. Permaisuri Wu menerima gulungan itu dan membacanya.

“Hamba, Zhong Wen menyampaikan petisi dari perbatasan timur” kata pejabat bernama Zhong Wen itu sambil menyembah di depan singgasana.

“Hmm, katakan apa petisimu” kata permaisuri Wu.

“Hamba mendapat laporan dari wilayah Liao Dong bahwa sisa-sisa pasukan pemberontak tengah membuat kekacauan di sana. Penguasa wilayah yaitu jenderal Guan Feng Yang mohon agar pasukan kerajaan membantu memadamkan kekacauan” jawab Zhong Wen.

Permaisuri Wu menghela napas panjang dan bangkit berdiri. Semua yang hadir menahan napas menantikan kemurkaannya tapi yang keluar dari mulut sang permaisuri Wu justru hanya kata-kata yang lembut.

“Sayang sekali. Pemimpin pemberontak sudah ditumpas tapi pengikutnya masih membuat kekacauan. Pejabat Zhong Wen, berapa orang pemberontak yang mengacau di daerah Liao Dong?”

“Yang Mulia Permaisuri, menurut laporan jenderal Guan Feng Yang, jumlah pemberontak sekitar sepuluh ribu orang” jawab Zhong Wen.

“Baiklah. Sekarang siapakah di antara para pahlawan di sini yang bersedia memadamkan pemberontakan ini?” tanya permaisuri Wu.

Chung Hung segera maju dan bersujud di depan singgasana.

“Yang Mulia, ijinkan hamba yang pergi menegakkan dinasti Tang!” seru Chung Hung dengan gagah.

“Hmm, Panglima Chung memang setia dan gagah berani. Tidak perlu diragukan lagi. Tapi Pasukan Merah belum diperlukan untuk menangani pemberontakan remeh seperti ini. Dinasti Tang yang agung berterima kasih atas pengabdianmu” kata sang permaisuri Wu.

“Hamba menurut Yang Mulia” kata Chung Hung sambil mundur kembali ke tempatnya berdiri.

“Panglima Lin” panggil permaisuri Wu.

“Hamba Yang Mulia!” jawab Lin Tung sambil maju bersujud di depan singgasana.

“Kudengar dulu engkau adalah penduduk asli daerah itu. Bagaimana jika kau yang ke sana membantu jenderal Guan Feng Yang memadamkan pemberontakan?” tanya permaisuri Wu.

“Hamba bersedia berkorban jiwa raga untuk kejayaan dinasti Tang!” jawab Lin Tung tanpa ragu sedikitpun.

“Bagus! Seorang patriot sejati! Panglima Lin Tung, dengarkan perintahku!” seru permaisuri Wu.

“Siap!”

“Tiga hari lagi bawa sepuluh ribu pasukan untuk memadamkan pemberontakan di Liao Dong. Hancurkan semua yang melawan!” kata permaisuri Wu dengan tegas.

“Hamba melaksanakan perintah Yang Mulia!” kata Lin Tung.

“Apakah ada lagi yang ingin mengajukan petisi?” tanya permaisuri Wu sambil menyapukan pandangan ke seluruh ruangan. Namun tidak ada jawaban dan hanya ada keheningan saja,

“Bagus! Hari ini rapat negara dibubarkan” kata permaisuri Wu sambil berlalu.

“Panjang umur Yang Mulia sepuluh ribu tahun!” seru semua yang hadir.

**

Panglima Lin Tung langsung sibuk menyiapkan pasukan setelah pulang dari istana. Sepuluh ribu pasukan adalah jumlah yang besar. Waktu tiga hari sebenarnya sangat-sangat pendek tapi untunglah sebagian besar pasukan memang sudah berkumpul di kotaraja sehingga tidak perlu waktu banyak mengumpulkan mereka lagi. Hanya saja perbekalan yang harus benar-benar segera disiapkan.

Bawahan panglima Lin Tung ada empat orang jenderal. Pertama adalah jenderal Zhi Lu, seorang jenderal pemberani yang meskipun umurnya masih tiga puluh tahun tapi sudah kenyang pengalaman bertempur. Ia adalah pemimpin pasukan perintis sekaligus kepala pelatih tempur pasukan panglima Lin Tung. Senjatanya adalah tombak cagak. Jenderal Zhi Lu dikenal sebagai Hei Lei Ciang Cing (Jenderal Guntur Hitam) karena selain kulit tubuhnya yang gelap, teriakan suaranya juga menggelegar.

Kedua adalah jenderal Fu Qin yang merupakan jenderal sayap kanan pasukan panglima Lin Tung. Usianya sudah hampir enam puluh tahun, rambutnya sudah memutih tapi tetap terlihat kuat dan gagah. Senjatanya adalah pedang bergagang panjang. Ketiga adalah jenderal sayap kiri Wang Wu Lin yang berusia sekitar lima puluh tahun. Ia dikenal ahli memanah dan pengendara kuda yang lihai. Panglima Lin Tung sangat percaya kepadanya baik secara pribadi maupun dalam pertempuran karena sifat Wang Wu Lin yang jujur dan setia.

Keempat adalah jenderal barisan belakang dan perbekalan, jenderal Zhuo Ning. Usianya sepantaran dengan jenderal Fu Qin dan meskipun selalu mendapatkan tempat di bagian belakang pasukan, tapi kemampuan perangnya jangan diragukan. Dulu jenderal Zhuo Ning adalah seorang pemimpin bandit gunung yang sangat ditakuti berjuluk Hu Wang (Raja Harimau). Beruntung ia kemudian bertemu panglima Lin Tung dan mengubah jalan hidupnya. Senjatanya adalah sepasang golok cincin. Setiap musuh yang mendengar gemerincing cincin-cincin yang terkait di mata goloknya pasti akan merasa gentar mengingat betapa banyaknya orang yang telah tumbang ditebas oleh senjata maut itu.

Keempat jenderal itu adalah bawahan panglima Lin Tung dan selalu mengikuti ke manapun panglima Lin Tung bertempur. Tidak terkecuali kali ini. Mereka berempat sangat sibuk mengatur pasukan terutama jenderal Zhuo Ning yang bertanggung jawab atas perbekalan. Perjalanan ke wilayah Liao Dong amat jauh dan melelahkan, memakan waktu hampir sebulan berkuda bersama pasukan. Sementara itu pasukan harus terus dijaga keadaannya agar ketika tiba di Liao Dong siap langsung bertempur. Tidak terasa hari ketiga sudah tiba sejak masa persiapan dimulai. Panglima Lin Tung memanggil keempat jenderalnya untuk memberikan perintah.

“Jenderal Zhuo, hari ini adalah hari persiapan terakhir kita. Perintahkan para prajurit untuk berlibur sehari. Biarkan mereka berpamitan dengan keluarga dan teman-teman mereka” kata panglima Lin Tung.

“Siap, panglima!” kata jenderal Zhuo Ning.

“Hari ini para jenderal sekalian juga beristirahat. Besok kita akan berangkat menuju tujuan yang jauh. Besok pagi-pagi sekali kita semua berkumpul di gerbang barat. Yang Mulia Permaisuri Wu sendiri yang akan mengantarkan kepergian pasukan kita. Harap semua mempersiapkan diri dengan baik” perintah panglima Lin Tung.

“Siap!” seru keempat jenderal serentak.

Panglima Lin Tung keluar menuju tempat kudanya ditambatkan. Dua orang prajurit yang menjaga kuda dan senjatanya serentak menunduk menghormat melihat kedatangan sang panglima. Toya besi andalan panglima Lin Tung dan kekang kuda diserahkan dengan hormat.

“Kalian berdua pulanglah! Besok pagi-pagi sekali semua berkumpul di gerbang barat!” kata panglima Lin Tung sambil membedal kudanya.

“Siap panglima!” jawab kedua prajurit itu dengan menjura.

Panglima Lin Tung melarikan kudanya dengan kecepatan sedang menuju ke sebelah barat kotaraja. Beberapa pengawalnya berlari di belakangnya sambil membawa panji bertuliskan Cing Lung Ta Ciang (Panglima Naga Emas). Baju besi emasnya yang berkilauan ditimpa sinar matahari menambah wibawa sang panglima. Di mana-mana di jalan yang dilewatinya, para penduduk membungkuk memberi hormat. Panglima Lin Tung terkenal karena sikapnya yang merakyat dan tidak mementingkan diri sendiri sehingga ia disukai rakyat jelata. Latar belakang panglima Lin Tung yang berasal dari bawah membuatnya lebih bisa berbaur dengan rakyat kebanyakan. Apalagi panglima Lin Tung juga merupakan murid mendiang rahib Tien Fa dari kuil Shaolin sehingga rasa keadilan dan kebajikan telah tertanam dalam dirinya sejak muda.

Panglima Lin Tung berhenti tepat di depan sebuah wisma yang besar tidak jauh dari istana. Wisma itu meskipun tua tapi terlihat terawat dan bersih. Di atas gerbangnya tertulis Han Cia Cuang (Wisma Keluarga Han). Panglima Lin Tung turun dari kudanya dan bergegas menuju pintu. Seorang pelayan tua yang tampaknya sudah menyadari kehadiran pejabat besar di depan pintu, langsung membuka pintu lebar-lebar dan membungkuk dengan hormat kepada panglima Lin Tung.

“Hormat saya kepada panglima Lin” kata pelayan itu.

“Hmm, apakah nyonya Han dan tuan muda ada di rumah?” tanya panglima Lin Tung.

“Ada, mereka sedang berada di dalam. Silakan masuk panglima Lin” jawab pelayan itu sambil berjalan mendahului.

Panglima Lin Tung dipersilakan duduk di ruang utama. Para pelayan dan dayang segera menyuguhkan teh untuk menyambut kehadiran tamu terhormat ini. Pelayan tua yang setia bernama paman Chung segera masuk ke dalam untuk memberitahukan kedatangan panglima Lin Tung. Nyonya Han yang sedang berada di kamar langsung merapikan pakaiannya.

“Paman Chung, suruh De-er menemui panglima Lin juga” kata nyonya Han.

“Baik nyonya” kata paman Chung.

Paman Chung segera bergegas menuju ke kamar tuan mudanya. Han Li De dihukum dikurung di kamar selama beberapa hari akibat perbuatannya berani datang ke Paviliun Awan Merah. Tentu saja hal ini membuat Han Li De amat bosan. Ia hanya bisa membaca buku dan tiduran saja, padahal ia amat ingin keluar berjalan-jalan bersama teman-temannya. Kedatangan paman Chung segera disambut gembira oleh Han Li De.

“Paman Chung! Apakah ibu yang menyuruh paman kemari?” tanya Han Li De kegirangan.

“Benar tuan muda, nyonya yang menyuruhku kemari” jawab paman Chung.

“Hore! Aku bisa bebas akhirnya!” teriak Han Li De gembira.

“Tuan muda, nyonya menyuruhmu keluar menemui panglima Lin. Nyonya tidak mengatakan apa-apa tentang hukumanmu” kata paman Chung.

“Apa?!” kata Han Li De kaget dan tidak jadi senang.

“Benar, panglima Lin sekarang sedang menunggu di ruang utama. Nyonya memintamu menemaninya menemui panglima Lin” kata paman Chung.

“Baiklah, daripada aku terus terkurung di sini. Lebih baik aku bertemu paman Lin. Siapa tahu aku bisa diajaknya keluar” kata Han Li De penuh harapan.

Han Li De berlari dengan penuh semangat menuju ruang utama. Ketika ia tiba di sana, ibunya dan panglima Lin Tung sudah bertemu dan bercakap-cakap dengan serius. Ia tidak sengaja mendengarkan kalimat-kalimat terakhir percakapan mereka.

“Apakah Han Fu-ren (nyonya Han) yakin akan meneruskannya?” tanya panglima Lin Tung.

“De-er sudah cukup dewasa. Lagipula selama beberapa tahun ini ia sudah berlatih cukup keras. Aku yakin ia bisa” jawab nyonya Han dengan tegas.

“Tapi...”

“Ada apa ini paman Lin hari ini datang kemari?!” tanya Han Li De dengan bersemangat.

“Ah, De-er! Kau semakin besar saja!” seru panglima Lin Tung ketika melihat Han Li De masuk.

“Paman Lin, aku ingin....”

“Hmmm....” dehem nyonya Han menegur.

“Ah! Salam hormat untuk paman Lin!” kata Han Li De segera setelah menyadari deheman ibunya.

“Ah, tidak perlu terlalu sopan. Aku senang melihatmu sehat-sehat saja” kata panglima Lin Tung tersenyum.

“De-er sangat bandel. Ia harus diajar tatakrama dan sopan santun dengan baik. Ia nantinya akan menjadi penerus keluarga Han” kata nyonya Han sambil melirik ke arah Han Li De.

“Paman Lin, aku ingin tahu bagaimana kabar Xiao Wu dan Xiao Wen” kata Han Li De seolah tidak mendengarkan sindiran ibunya.

“Mereka baik-baik saja. Mereka juga sangat ingin bertemu denganmu. Kapan-kapan datanglah ke rumah” kata panglima Lin Tung.

“Tentu! Aku sudah tidak sabar ingin bermain dengan mereka” kata Han Li De dengan gembira.

“De-er, jangan mengganggu panglima Lin dengan permainanmu. Hari ini dia datang untuk tugas negara” kata nyonya Han yang segera membuat Han Li De terdiam.

“De-er, hari ini aku datang hendak meminjam peta wilayah Liao Dong yang dibuat oleh mendiang leluhurmu, Han Sing” kata panglima Lin Tung.

“Oh?! Mengapa paman Lin ingin meminjam peta wilayah Liao Dong, bukankah wilayah itu sangat jauh dari kotaraja?” tanya Han Li De heran.

“Benar. Tapi terjadi pemberontakan di wilayah tersebut dan aku mendapatkan titah Yang Mulia untuk memimpin pasukan menghancurkan para pemberontak. Leluhurmu Han Sing dulu pernah bertempur di utara bersama panglima besar Sie Ren Kui. Ia menggambarkan wilayah itu dengan lengkap sehingga akan sangat membantu jika aku bisa meminjamnya untuk keperluan pasukan” jelas panglima Lin Tung.

“Panglima Lin, kami keluarga Han turun-temurun bekerja demi kejayaan dinasti Tang. Tentu saja kami akan meminjamkannya kepada anda” kata nyonya Han sambil memerintahkan paman Chung untuk mencari peta yang dimaksud di ruang baca keluarga.

“Terima kasih nyonya Han” kata panglima Lin Tung sambil menjura.

Sejenak kemudian, paman Chung keluar dengan membawa sebuah kotak kayu berukir yang dibawanya dengan hati-hati sekali. Nyonya Han menerima kotak itu dan memberikannya kepada panglima Lin Tung.

“Semoga ini bisa membawa kemenangan bagi anda panglima” kata nyonya Han dengan tulus.

“Terima kasih sekali. Aku pasti akan memakai peta ini dengan sebaik-baiknya demi kepentingan dinasti Tang” kata panglima Lin Tung gembira menerima peta itu.

“Dan panglima Lin, sampaikan salamku seperti yang tadi kita bicarakan” kata nyonya Han dengan nada suara yang berubah serius sehingga membuat Han Li De merasa heran.

“Tentu, tentu. Pasti akan kusampaikan” kata panglima Lin Tung.

Sejenak kemudian panglima Lin Tung berpamitan karena masih banyak tugas yang harus dilakukan sebelum keberangkatan pasukan. Han Li De mengantarnya sampai pintu gerbang.

“De-er, jagalah dirimu baik-baik” kata panglima Lin Tung sambil menepuk pundak Han Li De.

“Tentu, paman Lin juga harus menjaga diri baik-baik di medan perang. Pulanglah dengan selamat” kata Han Li De sambil menjura.

Panglima Lin Tung mengangguk dan dengan satu gerakan ringan naik ke atas sadel kudanya. Ia segera membedal kudanya kembali ke arah timur. Han Li De memandang kepergian panglima Lin Tung dengan perasaan kagum. Betapa ingin ia suatu hari juga menjadi seorang jenderal ternama, maju ke medan perang memenangkan pertempuran demi kerajaan. Sayang sekali ibunya sangat menjaga dirinya dan tidak memperbolehkannya mengikuti ilmu kemiliteran. Padahal setahu Han Li De, kakeknya adalah seorang jenderal ternama yang dikagumi banyak orang.

Han Li De sudah akan berjalan kembali ke kamarnya ketika tiba-tiba ia dikejutkan dengan desingan pedang di belakang kepalanya. Han Li De segera bergerak menghindar. Nyaris saja kepalanya tertebas pedang lawan jika saja terlambat beberapa saat. Han Li De segera memasang kuda-kuda dan melihat siapa lawan yang berusaha membokongnya barusan.

“Siapa kau?!” bentak Han Li De dengan marah ketika melihat penyerangnya memakai baju dan cadar hitam siap dengan pedang terhunus.

“Siapa aku tidak penting. Yang penting kau harus mati!” bentak penyerang gelap itu.

“Kurang ajar! Berani sekali kau masuk ke dalam wisma keluarga Han dan membuat kacau!” teriak Han Li De dengan marah. Sementara ia berbicara, matanya mencari-cari kalau-kalau ada pedang yang bisa dipakainya untuk melawan sang penyerang gelap.

“Kau perlu senjata?! Ini ambil!” ejek sang penyerang sambil melemparkan pedangnya kepada Han Li De dan mengambil pedang pendek yang tersarung di pinggangnya.

“Kau meremehkanku! Lihat pedang!” teriak Han Li De dengan marah dan maju menyerang.

Sang penyerang berpakaian gelap menerima serangan ganas Han Li De dengan sangat tenang dan terarah. Setiap sambaran pedang ilmu Pedang Gagak Putih diterima dengan baik sekali. Bahkan setiap kali pedang keduanya berbenturan, tangan Han Li De langsung terasa kebas. Ini menandakan tenaga dalam lawannya masih setingkat di atas dirinya.

Han Li De bukanlah seorang yang mudah menyerah. Ia sudah terbiasa dilatih keras oleh ibunya sejak kecil dengan jurus-jurus pedang keluarga ibunya. Karena itu ketika melihat lawannya lebih kuat dari dirinya, Han Li De segera mengubah taktik penyerangannya. Ia menggunakan jurus Fei Wu Cien Jao (Gagak Terbang Menebas Rumput) yang lebih mengarah ke bagian kaki lawannya. Han Li De berlutut dan menusukkan pedangnya dengan ganas sehingga lawannya kewalahan dan mundur terus.

“Bagus juga kau!” puji lawannya sambil melompat ke atas.

Penyerang gelap itu terbang dengan ringan ke atas dan mengaitkan kedua kakinya ke balok rumah. Kini ia menyerang dengan posisi tergantung terbalik. Han Li De kaget menerima serangan kejutan seperti ini. Jurus Gagak Terbang Menebas Rumput tidak bisa dipakai dalam keadaan seperti ini. Han Li De berusaha mengubah jurus menjadi jurus serangan atas tapi lawannya sudah mendahului menekan.

Pedang lawannya menusuk dengan kecepatan tinggi dari atas bagaikan hujan deras. Mau tak mau Han Li De terdesak mundur terus dan hanya bisa bertahan. Lawannya dengan sigap menggunakan kaitan kedua kakinya maju menyerang tanpa memberikan kesempatan bernapas sedikit pun kepada Han Li De. Pedang keduanya berdesingan dengan cepat dan menebarkan bunga api kemana-mana.

Han Li De sadar dirinya terdesak hebat segera mengubah gaya pedangnya. Ia melepaskan diri dari tekanan lawan dengan cara ikut melayang ke atas dan bergantungan di balok rumah dengan tangan kirinya sedang tangan kanannya meladeni serangan lawan. Kini keduanya bergantungan di atas balok rumah sambil terus bertarung.

Tidak terasa sudah hampir lima puluh jurus berlalu dan keduanya masih belum bisa menjatuhkan lawan. Sang penyerang gelap berteriak keras dan meloncat turun ke bawah. Han Li De segera mengikuti untuk menekan lawan tapi segera dihentikan dengan gerakan tangan musuhnya.

“Mengapa berhenti?! Apakah kau takut?!” bentak Han Li De sambil mengatur napasnya.

Sang penyerang gelap tidak berkata apa-apa hanya membuka bebatan kain hitam yang membungkus kepalanya. Betapa kagetnya Han Li De ketika menyadari sang penyerang gelap itu adalah ibunya sendiri!

“Ibu?! Mengapa?!” kata Han Li De keheranan. Ia segera menjura dan berlutut di hadapan ibunya.

Nyonya Han mengeluarkan gulungan kain kecil dari dalam mulutnya sebelum berbicara. Rupanya itulah yang mengubah suaranya tadi sehingga tidak dikenali Han Li De. Ia segera menghampiri anaknya dan mengangkat Han Li De kembali berdiri.

“De-er, kau sudah cukup mampu bermain pedang sekarang” kata nyonya Han dengan bangga.

“Ibu, maafkan aku sudah bertindak lancang terhadap ibu” kata Han Li De.

“Tidak apa-apa. Aku memang sengaja menyamar berpakaian seperti ini agar kau tidak segan-segan mengeluarkan seluruh kemampuanmu. Dan kulihat kemampuan sudah lumayan” puji ibunya.

“Aku masih harus banyak berlatih” kata Han Li De merendah.

“Memang benar. Tapi aku yakin kau sekarang sudah cukup bisa memainkan seluruh jurus pedang Gagak Putih keluargaku. Dan kau sudah siap sekarang” kata nyonya Han.

“Siap?! Ibu, siap untuk apa?” tanya Han Li De heran.

“Siap untuk bertanding mempertaruhkan kehormatan keluarga Cen” jawab nyonya Han.

“Tapi, tapi aku bermarga Han” kata Han Li De lagi.

“Benar, tapi engkau juga satu-satunya penerus keluarga Cen yang masih hidup. Jadi pertarungan ini akan berada di pundakmu” kata nyonya Han.

“Ibu, aku masih tidak mengerti. Lagipula tadi ibu menyerangku dengan jurus pedang yang tidak pernah kulihat sebelumnya. Apakah itu jurus-jurus baru yang harus kupelajari nantinya?” tanya Han Li De.

“Bukan, itu adalah jurus-jurus pedang keluarga Yung. Namanya ilmu Pedang Elang Emas. Itulah lawan yang harus kauhadapi nantinya” jawab nyonya Han.

**


No comments:

Post a Comment