Wednesday, October 28, 2009

Tien Xia Wu Jing - Bab 3 Terjebak (bagian 1)


“Ibu, aku tidak mengerti maksud ibu?! Mengapa aku harus ke kota Bing Yuan untuk bertanding dengan orang tidak pernah kukenal seumur hidupku?” tanya Han Li De keheranan.

“Karena ini adalah untuk membela nama keluarga ibumu” kata nyonya Han sambil melihat para pelayan menyiapkan bekal Han Li De di perjalanan.

“Jadi selama ini ibu melarangku bertanding dengan siapapun lalu tiba-tiba menyuruhku bertarung membela nama keluarga di sebuah kota kecil di utara, begitu maksud ibu?” kata Han Li De masih marah dan heran.

“Ya, memang begitu maksud ibu. De-er, kita sudah bicara panjang lebar semalam. Lagipula bukankah kau memang selalu ingin bepergian ke luar kotaraja?! Sekarang saatnya dan kau mengeluh terus” kata nyonya Han tidak sabaran.

“Ibu, aku memang selalu ingin melihat dunia, tapi tidak dengan cara terpaksa seperti ini. Apalagi harus bertanding mati-matian dengan orang yang tidak pernah kukenal” kata Han Li De.

“Kenapa? Kau takut?!” tanya nyonya Han dengan pandangan menusuk sehingga Han Li De terkejut.

“Aku tidak pernah takut mati, seharusnya ibu tahu itu” kata Han Li De tersinggung dengan pandangan ibunya.

“Jadi lakukan saja. Semua ilmu pedang keluarga Cen sudah kuajarkan kepadamu. Tinggal bagaimana kau menggunakannya saja” kata nyonya Han.

“Pertandingan antar keluarga ini sudah lama terjadinya. Apakah tidak sebaiknya dibatalkan saja” kata Han Li De masih mencoba lagi.

“Ini adalah pertandingan kehormatan. Seharusnya kau bangga. Lagipula ini jauh lebih terhormat daripada pertarungan jalanan di rumah bordil yang kau lakukan tempo hari” kata nyonya Han mulai marah.

Han Li De memutuskan tidak memperpanjang pertengkarannya dengan sang ibu. Ia tahu bahwa sekali ibunya sudah memutuskan sesuatu maka akan sangat sukar bagi siapapun untuk mengubahnya. Saat itu Hong Tou datang sambil membawa sebuah bungkusan besar.

“Kakak De aku memasak masakan kesukaanmu untuk bekal di perjalanan. Semoga kau suka” kata Hong Tou sambil tersenyum manis dan menyerahkan bungkusan itu.

“Hmm. Terima kasih” kata Han Li De dengan ogah-ogahan karena masih kesal dengan pembicaraan barusan.

“Kakak De, kau tidak suka?!” tanya Hong Tou penuh khawatir melihat wajah mendung Han Li De.

“Ah, tidak. Aku selalu suka masakanmu. Aku hanya kesal saja” kata Han Li De sambil melirik nyonya Han.

“Nah, De-er, sekarang semua sudah siap. Paman Chung sudah mempersiapkan kuda bagimu. Berangkatlah mumpung hari masih pagi. Pendekar Yung akan menulis surat kepadaku segera setelah kau tiba di sana. Dan ingat, berhati-hatilah selama dalam perjalanan” kata nyonya Han.

“Baik ibu” jawab Han Li De.

“Nah, tuan muda, ini kudanya. Kuda ini sangat sehat dan kuat. Namanya Hei Tien (Kilat Hitam). Ia bisa berlari beberapa ratus li sehari. Kuda ini cocok sekali bagi tuan muda” kata paman Chung sambil menuntun seekor kuda berwarna hitam yang sangat kekar.

Wajah Han Li De berubah sedikit cerah melihat kuda kekar yang dibawa paman Chung. Kuda itu benar-benar kuda pilihan. Tingginya lebih dari satu tombak, keempat kakinya kekar dan punggungnya kuat. Hei Tien meringkik keras ketika Han Li De mengusap kepalanya.

“Hei Tien, nama yang cocok untukmu” kata Han Li De.

“Kakak De, berhati-hatilah di jalan” kata Hong Tou mengucapkan salam perpisahan.

“Iya, aku akan berhati-hati” kata Han Li De.

“De-er, ingatlah jangan bermain-main di sepanjang perjalanan. Pendekar Yung menantimu di sana” kata nyonya Han mengingatkan.

Hei Tien mendengus keras ketika Han Li De menarik tali kekangnya. Han Li De sebenarnya juga ingin mendengus keras sebagai jawaban kepada ibunya tapi ia sadar bahwa itu tidak baik jadi ia menjura dari atas kuda kepada ibunya untuk mengucapkan salam perpisahan.

“Ibu, aku berangkat dulu”

Nyonya Han dan lainnya mengantar sampai Han Li De hilang di belokan sudut jalan. Hong Tou sangat sedih karena selama ini ia belum pernah berpisah lama dengan Han Li De. Nyonya Han juga merasakan hal yang sama tapi ia berusaha menekan perasaannya. Dadanya terasa sesak dan ia terbatuk-batuk. Cairan kental berwarna merah tua melekat pada telapak tangannya yang ia gunakan untuk menutupi mulutnya barusan.

“Nyonya, apakah anda tidak apa-apa?” tanya paman Chung dengan penuh rasa khawatir.

“Paman, aku baik-baik saja” jawab nyonya Han singkat.

“Apakah tuan muda tahu....”

“Cukup paman Chung. Aku sudah mengatakan kita tidak perlu memberitahunya” tukas nyonya Han sambil berlalu masuk ke dalam wisma keluarga Han.

Sementara itu Han Li De sudah mulai keluar dari gerbang timur kotaraja. Segera setelah ia mulai berada di jalan terbuka, Han Li De memacu Hei Tien sekencang-kencangnya. Ternyata kuda itu memang sanggup berlari amat cepat dan bertenaga. Sebentar saja kotaraja sudah tidak terlihat dan pemandangan digantikan oleh persawahan, kemudian padang rumput dan setelah itu hutan. Angin segar menerpa wajah Han Li De tapi tetap saja tidak mampu mengusir kegalauan hatinya.

“Mengapa aku bisa terjebak dalam keadaan ini?” keluh Han Li De kepada dirinya sendiri.

**

Panglima Lin Tung dan keempat jenderalnya maju dengan hati-hati menilik keadaan. Tapi sepertinya tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Suasana desa Guo An sangat sepi dan tidak terlihat sesuatu yang mencurigakan. Beberapa ekor ayam dan kambing tengah mencari makan di antara jalan desa sementara dua ekor sapi melenguh di tengah kebun.

“Kelihatannya aman, tapi tidak tampak seorang manusiapun” kata panglima Lin Tung.

“Mungkin penduduk desa ini sudah melarikan diri semuanya begitu gerombolan pemberontak menyerang” kata jenderal Fu Qin memberikan pendapat.

“Aku rasa juga demikian. Baiklah malam ini kita berkemah di desa ini. Besok kita akan berangkat ke bukit Ti Suang. Katakan kepada para prajurit mereka boleh mengambil hewan ternak yang ada di sini untuk makan malam” perintah panglima Lin Tung.

“Siap panglima!” seru keempat jenderalnya serentak.

Sepuluh ribu pasukan segera bersiap mendirikan kemah dan peralatan masak. Matahari musim gugur di wilayah utara cepat meredup. Sebentar saja hari sudah gelap. Untunglah kemah utama tempat para jenderal beristirahat sudah berdiri sehingga mereka bisa membaringkan diri.

Tapi di kemah utama, panglima Lin Tung justru tengah sibuk melihat peta yang ia pinjam dari nyonya Han. Peta itu meskipun tua dan sudah mulai kabur, tapi sangat jelas dalam menandakan tempat, sungai, wilayah desa dan kota. Panglima Lin Tung merasa senang bisa memiliki peta itu karena ia menjadi sangat terbantu. Ia memang lahir di wilayah utara ini tapi tidak terlalu paham seluk beluk daerah perbatasan dengan Tembok Besar dan wilayah Han-guo (Korea).

“Panglima, anda tidak beristirahat?!” tanya jenderal Wang Wu Lin ketika masuk dan melihat panglima Lin Tung masih asyik memperhatikan peta.

“Aku masih belum lelah. Lagipula aku ingin tahu bagaimana persiapan pasukan kita besok memasuki bukit Ti Suang. Jenderal Wang, mendekatlah dan lihatlah peta ini” kata panglima Lin Tung.

Jenderal Wang Wu Lin menjura dan berjalan mendekat. Ia melihat sebuah peta kuno yang masih terawat baik dan berseru kagum melihat kejelasan yang diperlihatkan sang pembuat peta.

“Peta ini bagus sekali! Pasti pembuatnya membutuhkan banyak waktu untuk membuat ini” kata jenderal Wang memuji.

“Benar sekali. Nah, sekarang kita berada di desa Guo An, di sini” kata panglima Lin Tung menunjuk pada titik di kanan atas peta.

“Dan ini adalah bukit Ti Suang, hanya sepuluh li utara jauhnya dari desa ini” kata jenderal Wang.

“Iya. Di utara bukit Ti Suang hanya ada hutan lebat sejauh lima puluh li tanpa ada jalan besar. Setelah itu perbatasan dengan wilayah Han-guo. Di timur hanya ada padang rumput dan Tembok Besar. Aku yakin sekali para pemberontak pasti bersembunyi di sekitar sini. Hutan ini pasti menjadi persembunyian mereka” kata panglima Lin Tung sambil mengetukkan jarinya di atas tulisan hutan di peta.

“Benar, untunglah kita dibantu oleh penduduk desa sekitar dalam pencarian kita besok. Ini akan membuat pencarian kita lebih mudah” kata jenderal Wang Wu Lin.

“Aku pikir juga begitu. Penduduk yang tahu daerah ini akan sangat membantu” kata panglima Lin Tung setuju.

“Panglima, bolehkah.....aku bertanya sesuatu” kata jenderal Wang Wu Lin ragu-ragu.

“Silakan. Tidak perlu ragu-ragu” kata panglima Lin Tung agak heran melihat sikap jenderal Wang.

“Ini mengenai pasukan jenderal Guan Feng Yang. Menurut panglima apa yang terjadi dengan mereka? Dua ribu pasukan berkuda dan tidak ada satupun yang kembali. Tidakkah ini sangat aneh?” tanya jenderal Wang.

“Jenderal Wang, kau benar. Menurutku ini juga aneh. Aku pernah bertemu dengan jenderal Guan dulu di kotaraja dan menurutku ia seorang yang cerdas dan penuh perhitungan. Tidak mungkin ia bisa masuk jebakan musuh dengan begitu mudahnya sampai seluruh pasukannya hancur. Bahkan tidak satupun dari pasukannya yang bisa kembali ke Liao Dong. Ini sebenarnya sangat aneh” kata panglima Lin Tung.

“Panglima, bolehkah aku mengajukan usul” kata jenderal Wang.

“Silakan”

“Para pemberontak entah bagaimana caranya pasti telah menyiapkan sebuah serangan jebakan bagi kita. Usulanku adalah kita mengirimkan satu orang utusan setiap setengah hari untuk kembali kemari melaporkan perkembangan keadaan kita kepada komandan Hu Fang. Jadi jika terjadi sesuatu kepada pasukan kita, maka komandan Hu Fang bisa cepat mengetahuinya. Ia bisa mengirimkan bantuan dan melaporkan kejadian ini kepada istana. Tidak perlu harus menunggu berhari-hari seperti saat ini ketika jenderal Guan dan pasukannya menghilang” kata jenderal Wang.

“Bagus! Usulanmu sangat bagus, jenderal Wang. Kita akan mengirimkan utusan pada pagi, siang dan malam hari sehingga keadaan kita dapat lebih cepat diketahui. Komandan Hu Fang nanti akan kuberi perintah untuk segera memberitahu istana apabila tiga utusan kita tidak datang. Dengan demikian ia hanya akan tertinggal setengah hari bila kita terjebak pasukan pemberontak” kata panglima Lin Tung dengan gembira.

“Panglima Lin, apakah tidak sebaiknya anda menunggu di benteng Liao Dong saja? Biarkan kami berempat yang maju ke garis depan. Dengan demikian jika terjadi apa-apa, maka keselamatan panglima akan terjamin” kata jenderal Wang.

“Eh, jenderal Wang, tidak bisa begitu. Aku adalah seorang panglima. Aku seharusnya berada di garis depan melawan musuh. Jika aku hanya berdiam diri di Liao Dong sementara pasukan maju berperang, aku yakin semangat pasukan akan hilang. Lagipula Yang Mulia sudah mengutus aku untuk menghancurkan para pemberontak. Titah Yang Mulia tidak bisa kuabaikan” kata panglima Lin Tung.

“Panglima Lin memang gagah. Aku merasa bangga bisa berada di bawah perintah panglima” kata jenderal Wang Wu Lin sambil menjura hormat.

“Hahah, kau terlalu memuji. Nah sekarang mungkin kita semua harus beristirahat. Besok pagi-pagi kita akan berangkat ke bukit Ti Suang. Kita perlu tubuh yang segar untuk menghadapi segala kemungkinan” kata panglima Lin Tung menutup pembicaraan.

“Siap panglima!” kata jenderal Wang Wu Lin mengundurkan diri.

Malam itu berlalu dengan tenang. Para prajurit yang telah mengenyangkan diri dengan hewan ternak milik para penduduk desa Guo An tertidur dengan pulas. Beberapa ratus prajurit lain berjaga-jaga di sepanjang perkemahan dan menghangatkan diri dengan membuat api unggun. Panglima Lin Tung membaringkan dirinya di atas tempat tidur dengan masih berpakaian lengkap kecuali tanpa baju besi Naga Emasnya yang disandarkan di kursi. Ia sudah terbiasa tidur berpakaian lengkap selama masa-masa perang agar supaya siap jika terjadi sesuatu. Toya besi andalannya ia letakkan di samping tempat tidur agar mudah dijangkau. Segera saja napas panglima Lin Tung menjadi teratur dan ia tertidur pulas.

Esok harinya, ketika ayam hutan mulai berkokok, sepuluh ribu prajurit mulai bersiap-siap berangkat ke bukit Ti Suang. Perkemahan dan tenda dibongkar, kuda-kuda disiapkan dan gerobak perbekalan mulai dibenahi. Sebelum matahari terlalu tinggi, seluruh pasukan sudah siap berangkat. Panglima Lin Tung maju ke depan pasukan bersama empat jenderalnya untuk memberikan perintah kepada pasukan.

“Jenderal Zhi Lu, bagaimana dengan pemandu kita?!” tanya panglima Lin Tung setelah melihat seluruh pasukan sudah siap.

“Ia sudah siap panglima. Pengawal, bawa ia maju ke depan panglima” kata jenderal Zhi Lu.

Seorang laki-laki berumur sekitar empat puluh tahun dan berpakaian petani kasar maju ke depan panglima Lin Tung dikawal dua orang prajurit. Ia tampak ketakutan dan bingung melihat begitu banyaknya pasukan. Apalagi ketika berhadapan dengan panglima Lin Tung yang berbaju besi Naga Emas dan menyandang toya besi andalannya. Petani itu langsung bersujud memberi hormat kepada panglima Lin Tung.

“Hormat hamba, Yang Mulia” kata petani itu masih gemetaran.

“Tidak perlu takut, kami adalah prajurit dinasti Tang Agung. Kami adalah pelindung kerajaan” kata panglima Lin Tung ketika melihat petani itu ketakutan di hadapannya.

“Ba..baik Yang Mulia” kata petani itu masih bersujud dengan muka menghadap tanah.

“Bangkitlah. Aku panglima Lin Tung. Siapa namamu?” tanya panglima Lin Tung.

“Hamba…hamba bernama Zhang Wen” jawab petani yang bernama Zhang Wen itu sambil beringsut bangun.

“Nah, Zhang Wen, kudengar kau adalah penduduk daerah sini. Apakah kau mengerti seluk beluk wilayah bukit Ti Suang?” tanya panglima Lin Tung.

“Hamba mengerti Yang Mulia. Hamba sering pergi ke sana untuk mencari kayu bakar” jawab Zhang Wen.

“Bagus jika begitu. Sekarang kau akan menjadi penunjuk jalan bagi pasukan. Jenderal Zhi Lu akan berada di depan dan kau akan bersamanya sampai kita kembali lagi kemari. Kau mengerti ini, Zhang Wen?” kata panglima Lin Tung.

“Hamba mengerti Yang Mulia Panglima Lin” kata Zhang Wen.

“Pengawal! Berikan kuda kepadanya! Ia akan menjadi penunjuk jalan bagi kita!” seru jenderal Zhi Lu dengan suaranya yang menggelegar sehingga membuat Zhang Wen melompat karena terkejut.

“Hahaha, Zhang Wen, kau harus membiasakan diri dengan suara guntur jenderal Zhi Lu. Julukannya Hei Lei Ciang Cin (Jenderal Guntur Hitam)” kata panglima Lin Tung tertawa melihat kekagetan Zhang Wen.

Seekor kuda diberikan kepada Zhang Wen dan ia dibantu naik ke atas kuda oleh para pengawal. Tampak sekali kecanggungan Zhang Wen dalam mengendalikan kuda karena tidak pernah mengendarainya. Jenderal Zhi Lu mendengus keras melihat hal ini.

“Kita bakal lambat jika seperti ini” keluh jenderal Zhi Lu.

“Jangan khawatir jenderal Zhi. Pelan-pelan saja dan waspada. Lagipula seluruh penduduk desa Guo An sudah melarikan diri. Kita beruntung masih menemukan seorang penduduk asli untuk menjadi penunjuk jalan bagi kita” kata panglima Lin Tung.

Pasukan kemudian diberangkatkan dengan jenderal Zhi Lu bersama Zhang Wen berada paling depan. Di belakang mereka adalah pasukan jenderal Fu Qin dan Wang Wu Lin. Terakhir adalah pasukan jenderal Zhuo Ning. Mereka semua berbaris rapi dengan panglima Lin Tung berada di tengah pasukan. Derap langkah para prajurit dan kuda-kuda seakan mengguncangkan bumi.

Sebelum tengah hari mereka sudah tiba di kaki bukit Ti Suang. Jenderal Wang Wu Lin mengirimkan seorang utusan berkuda pertama untuk kembali ke benteng Liao Dong memberitahukan keadaan pasukan. Panglima Lin Tung berkuda ke depan untuk melihat keadaan bukit Ti Suang. Ia ditemani beberapa pengawal dan jenderal Zhi Lu serta Zhang Wen.

“Bukit Ti Suang ini tidak terlalu tinggi, tapi hutannya rapat dan jalannya sempit. Pasukan berkuda dan para prajurit hanya bisa berbaris berlima saja. Perintahkan seluruh pasukan untuk berhati-hati terhadap kemungkinan ancaman sergapan pemberontak” kata panglima Lin Tung setelah menilai keadaan.

“Siap panglima!” seru jenderal Zhi Lu.

“Zhang Wen, bagaimana dengan jalan di bukit ini?” tanya panglima Lin Tung.

“Yang Mulia, jalan ini akan semakin sempit saat menanjak. Setelah itu di belakang bukit ada sebuah lembah kecil dengan hutan yang lebat dan sebuah sungai kecil” jawab Zhang Wen.

“Baiklah. Semua berangkat. Nanti kita bisa beristirahat di sungai kecil yang dimaksudkan” kata panglima Lin Tung memberikan perintah.

Pasukan kembali maju, kali ini semakin pelan karena sempitnya jalan dan medan yang semakin menanjak. Hutan di kiri kanan mereka semakin lebat sehingga cahaya matahari mulai terhalang. Suasana menjadi remang-remang bagaikan sore hari.

“Panglima Lin, aku merasakan firasat buruk” kata jenderal Wang Wu Lin.

“Tenanglah, jenderal Wang. Kita hanya akan mengitari bukit Ti Suang untuk hari ini. Semoga ada tanda-tanda pasukan jenderal Guan yang bisa kita temukan. Kita tidak akan bermalam di tempat ini” kata panglima Lin Tung mencoba menenangkan.

“Semoga saja kita bisa menemukan tanda-tanda pasukan jenderal Guan” kata jenderal Wang masih cemas.

Para prajurit diperintahkan untuk melaporkan jika menemukan sesuatu, apapun itu yang mungkin berhubungan dengan pasukan jenderal Guan. Tapi hingga tengah hari dan utusan berkuda kedua dikirimkan oleh jenderal Wang Wu Lin, tidak satupun prajurit yang melapor menemukan sesuatu. Tidak ada tombak, baju besi, pedang, panah, anak panah bahkan baju pasukan jenderal Guan yang mereka temukan. Mereka benar-benar seperti lenyap ditelan bumi.

Pasukan terdepan di bawah jenderal Zhi Lu dan Zhang Wen kemudian mencapai lembah di belakang bukit Ti Suang pada tengah hari. Sisa pasukan menyusul kemudian. Mereka semua kemudian makan siang dan minum dari air sungai kecil yang mengalir jernih membelah hutan itu. Waktu istirahat itu dimanfaatkan panglima Lin Tung dan keempat jenderal membicarakan tindakan mereka selanjutnya.

“Nah, sekarang kita sudah melewati bukit Ti Suang dan tidak menemukan apapun. Bahkan pasukan pemberontak juga tidak terlihat. Menurutku kita kembali saja ke desa Guo An dan kembali besok dengan pasukan-pasukan kecil untuk pencarian. Bagaimana pendapat kalian?” tanya panglima Lin Tung kepada keempat jenderalnya.

“Saya setuju. Kita tidak bisa bermalam di sini” kata jenderal Wang Wu Lin.

“Benar” kata jenderal Fu Qin dan jenderal Zhuo Ning setuju.

“Aku sebenarnya ingin sekali maju. Tapi kupikir besok juga tidak ada ruginya” kata jenderal Zhi Lu.

“Baiklah kalau begitu. Siapkan pasukan untuk kembali ke desa Guo An. Jenderal Wang, jangan lupa kirimkan utusan ketiga kita ke benteng Liao Dong” kata panglima Lin Tung menutup pembicaraan.

Segera setelah itu semua pasukan disiapkan untuk kembali ke desa Guo An.

Matahari mulai condong ke barat dan pemandangan dalam hutan semakin remang-remang. Jenderal Zhi Lu dan Zhang Wen kembali memimpin di depan. Segera saja mereka tiba di kaki bukit Ti Suang ketika tiba-tiba terdengar derap langkah kuda yang dipacu kencang. Jenderal Zhi Lu segera mengangkat tangan memberi aba-aba.

“Semua bersiap! Ada orang di depan! Pasukan panah siap!” teriak jenderal Zhi Lu dengan suaranya yang menggelegar.

Zhang Wen yang ketakutan segera menyingkir ke samping dan bersembunyi di antara pepohonan. Pasukan panah segera bergerak maju ke depan dan bersiap dengan busur terentang.

“Tahan! Tunggu aba-abaku!” seru jenderal Zhi Lu.

Dari jalan setapak di hadapan mereka, seorang penunggang kuda tengah memacu kudanya dengan kencang sekali. Ia tampak begitu kaget ketika melihat puluhan prajurit panah siap di depannya dengan busur terentang.

“Tahan! Aku prajurit utusan jenderal Wang Wu Lin!” teriak sang penunggang kuda itu.

“Semuanya tahan!” teriak jenderal Zhi Lu sambil mengangkat tombak cagaknya.

Prajurit itu segera membedal kudanya dan mendekat lalu melompat turun. Ia tampak bingung dan heran sama seperti jenderal Zhi Lu.

“Prajurit, kau utusan jenderal Wang, bukankah seharusnya kau menuju ke benteng Liao Dong?” tanya jenderal Zhi Lu.

“Benar, jenderal Zhi. Hamba memang memacu kuda ke benteng Liao Dong” jawab prajurit itu.

“Kau jangan main-main! Sudah jelas kau kembali kepada kami, bagaimana mungkin kau mengatakan kau menuju ke arah benteng Liao Dong?” bentak jenderal Zhi Lu tidak sabaran.

Saat itu panglima Lin Tung datang disertai beberapa pengawalnya untuk melihat mengapa pasukan depan terhenti. Ia terkejut melihat utusan yang dikirimkan jenderal Wang Wu Lin kembali.

“Prajurit! Bukankah kau tadi yang diutus jenderal Wang kembali ke benteng Liao Dong? Mengapa engkau kembali kemari?!” tanya panglima Lin Tung.

“Aku juga barusan bertanya hal yang sama, panglima Lin. Tapi kata prajurit ini ia sedang memacu kudanya ke arah benteng Liao Dong dan bertemu kita” kata jenderal Zhi Lu.

“Benarkah itu prajurit?!”

“Benar, panglima Lin. Hamba tidak berani berbohong. Hamba tadi segera memacu kuda melewati bukit Ti Suang ketika bertemu kembali dengan pasukan jenderal Zhi Lu” kata prajurit itu mulai ketakutan.

“Panggil Zhang Wen kemari!” perintah panglima Lin Tung.

Tali kekang kuda Zhang Wen dipegang oleh seorang pengawal untuk dihadapkan kepada panglima Lin Tung. Tampak sekali Zhang Wen gemetaran. Wajahnya pucat dan matanya kelihatan hampir menangis.

“Zhang Wen, apakah bukit Ti Suang ini ada jalan memutar?” tanya panglima Lin Tung.

“Ti.. tidak ada Yang Mulia. Jalan satu-satunya hanya jalan setapak ini” jawab Zhang Wen tergagap.

“Prajurit, kau yakin tadi tidak mengambil jalan memutar?” tanya panglima Lin Tung kepada prajurit utusan jenderal Wang.

“Hamba yakin sekali Yang Mulia. Hanya ada satu jalan setapak” jawab prajurit itu.

Panglima Lin Tung menghela napas panjang.

“Kalau begitu, tampaknya kita semua terjebak di sini”

**

Friday, October 23, 2009

Tien Xia Wu Jing - Bab 2 Tugas Negara dan Keluarga (bagian 2)

Panglima Lin Tung membedal kudanya dengan gagah membelah barisan prajurit yang berbaris rapi di sebelah timur kotaraja. Baju perangnya yang berwarna emas berkilauan ditimpa sinar matahari. Hari itu udara pagi sangat cerah dan matahari bersinar terang tanpa awan. Ribuan kuda meringkik-ringkik tidak sabar segera ingin berangkat menuju medan perang. Suasananya benar-benar membuat mereka yang melihatnya menjadi kagum dan tertekan oleh kehebatan pasukan kerajaan dinasti Tang.

Sebuah panggung besar didirikan tepat di tengah-tengah barisan prajurit. Puluhan kasim pelayan dan pengawal istana berjalan bersama sebuah kereta yang dilapisi emas menuju ke panggung besar itu. Keempat jenderal bawahan panglima Lin Tung dengan berpakaian perang lengkap berdiri berjajar di bawah panggung untuk menyambut kedatangan permaisuri Wu.

“Yang Mulia tiba!!”

Seluruh pasukan langsung memberi hormat. Gemuruh sepuluh ribu pasukan menggema bagaikan mengguncang langit. Permaisuri Wu turun dengan dibantu para dayang dan kasim. Seorang wanita muda berparas cantik, berpakaian hijau dan berkulit putih bagaikan marmer berjalan di belakang permaisuri Wu dengan membawa pedang kerajaan bersarung emas dan berukir kepala naga. Ia adalah pelayan kepercayaan permaisuri Wu bernama Shangguan Wan Er.

Permaisuri Wu berjalan dengan anggun hingga sampai di puncak panggung besar. Dengan satu kibasan tangan ia memberikan tanda bahwa hormat para prajurit diterima. Segera semua yang hadir bangkit berdiri. Suara gemuruh baju besi dan pedang serta tombak perang bagai memecahkan gendang telinga.

Panglima Lin Tung membedal kudanya dengan sigap hingga sampai ke depan panggung. Ia segera turun dari kudanya begitu tiba dan berlari hingga sampai di depan permaisuri Wu. Panglima Lin Tung memberi salam dan menjura dengan hormat.

“Yang Mulia panjang umur sepuluh ribu tahun!”

“Hmm. Panglima Lin, tampaknya seluruh pasukan sudah siap berangkat ke Liao Dong sekarang” kata permaisuri Wu.

“Benar, Yang Mulia. Sepuluh ribu pasukan sudah siap berangkat”

“Bagus. Hancurkan para pemberontak dan tegakkan dinasti Tang!” kata permaisuri Wu dengan tegas.

“Hamba, Panglima Naga Emas siap menjalankan perintah!” kata panglima Lin Tung dengan bersemangat.

Permaisuri Wu memberikan tanda kepada Shangguan Wan Er dengan tangannya dan yang dituju langsung maju ke depan dengan membawa pedang kerajaan. Pedang itu diangkat oleh Permaisuri Wu dan diberikan kepada panglima Lin Tung.

“Panglima, pedang Huang Lung (Naga Kuning) ini adalah simbol kaisar sendiri. Bawalah dan jadikan kejayaan dinasti Tang. Siapapun yang menentang perintahmu, bunuh dulu dengan pedang ini dan baru kemudian laporkan kepadaku” kata permaisuri Wu.

“Panjang umur Yang Mulia” kata panglima Lin Tung sambil menerima pedang kerajaan itu dengan hormat.

“Sekarang berangkatlah. Aku menunggu kabar baik darimu panglima Lin” kata permaisuri Wu.

“Hamba tidak akan mengecewakan harapan Yang Mulia” kata panglima Lin Tung.

“Bagus! Sekarang aku tidak cemas lagi”

Panglima Lin Tung mundur dari panggung besar dan segera menuruni tangga. Ia naik ke atas kudanya dan mengacungkan pedang Naga Kuning tinggi-tinggi ke udara.

“Atas perintah Yang Mulia, pasukan Naga Emas menuju Liao Dong menumpas para pemberontak!” seru panglima Lin Tung dengan gagah.

“Tumpas pemberontak! Tumpas pemberontak!” seru semua prajurit sehingga mengguncangkan langit.

Panglima Lin Tung membungkukkan badan di atas kudanya kepada permaisuri Wu dengan hormat sebagai tanda pamit sebelum berangkat. Keempat jenderalnya segera membedal kuda masing-masing dan memberangkatkan pasukan mereka. Ribuan hentakan kaki prajurit menggetarkan bumi dan mereka yang melihatnya.

Permaisuri Wu berdiri di atas panggung besar terus melihat para prajurit yang berangkat hingga hilang di belokan bukit. Setelah itu permaisuri Wu menghembuskan napas panjang dan berkata kepada dirinya sendiri:

“Pohon apel dikorbankan untuk pohon persik jika ulat-ulat datang menyerang”

“Yang Mulia, apakah ini benar?!” bisik Shangguan Wan Er di samping sang permaisuri Wu.

“Aku tidak punya banyak pilihan, Wan Er. Kejayaan dinasti Tang lebih penting daripada nyawa sepuluh ribu prajurit. Dan juga panglima Naga Emas”

**

Pasukan panglima Lin Tung bergerak dengan cepat dan teratur menuju ke utara. Mereka melewati puluhan kota kecil dan besar, menembus hutan dan sungai, mengular bagaikan naga raksasa melintasi bumi. Sepanjang jalan rakyat berkumpul dan memuji pasukan itu setelah melihat panji-panji bertuliskan Panglima Naga Emas Lin Tung. Pasukan ini dikenal disiplin dan tidak pernah menyengsarakan rakyat sehingga sangat disanjung oleh rakyat jelata.

“Jenderal Zhi Lu, kota apakah yang berada di depan kita?” tanya panglima Lin Tung ketika melihat sebuah kota tampak di kejauhan.

“Lapor Panglima Lin, di depan kita adalah kota Bing Yuan. Pasukan yang bertugas di sana adalah pasukan komandan Wu Gan” jawab jenderal Zhi Lu.

“Kota Bing Yuan ya?! Tidak terasa kita sudah sampai dekat wilayah Liao Dong. Aku punya teman baik di sini. Semoga ia sudah mendengar kedatanganku” kata panglima Lin Tung dengan pandangan menerawang jauh.

Seakan menjawab pikirannya, dari kejauhan tampak debu mengepul tinggi. Lima orang pemuda tampak sedang membedal kudanya dengan cepat sekali menuju ke arah pasukan panglima Lin Tung. Jenderal Zhi Lu langsung waspada dan bersiap tapi panglima Lin Tung menenangkannya.

“Aku tahu siapa kelima pemuda itu” kata panglima Lin Tung.

Kelima pemuda yang memacu kudanya itu mulai mendekat dengan cepat. Panji yang mereka bawa berkibar-kibar bertuliskan “Perguruan Elang Emas” (Cing Ying Bai). Panglima Lin Tung tersenyum pada dirinya sendiri dan berkata:

“Rupanya si elang busuk itu masih belum melupakan aku”

Pemuda yang sampai paling dulu tampaknya adalah yang tertua di antara mereka berlima. Umurnya sekitar dua puluh tahun. Wajahnya tegas dengan alis mata yang tebal. Ia memakai baju hitam dengan ikat kepala putih. Empat pemuda yang lain tampaknya adalah murid-murid muda dari Perguruan Elang Emas. Usia mereka mungkin baru sekitar lima belas tahun. Mereka semua tampak bersemangat dan kelihatannya baru pertama kali ini melihat pasukan perang dalam kumpulan besar.

“Hormat kepada panglima Naga Emas!” seru kelima pemuda tadi sambil meloncat turun dan menjura.

“Kalian semua murid perguruan Elang Emas?!” tanya Lin Tung setelah membalas salam kelima pemuda tadi.

“Benar panglima. Aku murid tertua (Ta Se-siung). Namaku adalah Cheng Gao. Keempat orang ini adalah adik seperguruanku” kata pemuda yang paling tua itu memperkenalkan diri.

“Rupanya dia sudah mempunyai banyak murid sekarang” kata panglima Lin Tung tersenyum.

“Perguruan kami tidak besar. Jumlah seluruh murid perguruan hanya delapan belas orang. Guru (Se-fu) tidak berkenan menerima murid yang tidak berbudi dan berbakat” kata Cheng Gao.

“Iya, aku tahu dia selalu begitu. Sekarang di mana gurumu?”

“Guru menanti di gerbang kota bersama komandan Wu Gan. Guru sudah mendengar kabar kedatangan panglima sejak sepuluh hari lalu. Beliau sangat senang sehingga mempersiapkan diri menyambut di depan gerbang kota. Kami berlima diminta datang dulu kemari untuk memberitahukan kepada panglima Lin Tung” jawab Cheng Gao menerangkan.

“Bagus. Kebetulan pasukan akan berkemah sehari di sini. Aku bisa bertemu dengan gurumu dan berbincang-bincang tentang masa lalu sampai puas malam ini. Jenderal Zhi Lu, atur barisan untuk berkemah di sebelah bukit selatan kota Bing Yuan. Kita akan berangkat lagi besok pagi” kata panglima Lin Tung dengan gembira.

“Siap panglima!”

Jenderal Zhi Lu memberikan tanda kepada pasukan untuk mengikuti dirinya ke arah selatan kota. Sementara itu beberapa pengawal panglima Lin Tung langsung berbaris di belakang kuda sang panglima dan siap berangkat tapi Lin Tung memberi perintah agar mereka kembali bergabung dengan pasukan utama.

“Hari ini aku akan bertemu teman lama. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Kalian beristirahat saja hari ini”

“Siap panglima!” seru para pengawal dan bergegas pergi bergabung dengan pasukan utama di bawah jenderal Zhi Lu.

“Nah, sekarang tunjukkan jalan” kata panglima Lin Tung kepada Cheng Gao.

“Baik, panglima Lin. Silakan ikuti kami!” kata Cheng Gao bersemangat.

Mereka berenam berkuda bersama-sama menuju gerbang kota. Di atas gerbang kota, tampak seorang komandan bersama seorang berpakaian sutra biru tengah mengawasi kedatangan sang panglima. Wajah pria berpakaian sutra biru itu cerah dan menunjukkan keterbukaan. Alisnya lurus dan tebal. Hidungnya mancung dan mulutnya bagus. Sungguh seorang pria yang tampan. Ia tampak berseri-seri dan gembira melihat kedatangan sang panglima Naga Emas.

“Akhirnya datang juga sang panglima Naga Emas” kata komandan kota yang bernama Wu Gan itu.

“Benar. Sekarang aku akan menyambutnya!” seru pria itu sambil melompat ke bawah langsung dari atas tembok kota.

Komandan Wu Gan berseru kaget. Tinggi tembok kota Bing Yuan memang tidak setinggi tembok kotaraja, tapi tetap saja tingginya hampir lima tombak. Salah jatuh, patah kaki saja sudah bisa dianggap beruntung. Tapi pria berpakaian sutra biru itu bagaikan sehelai bulu yang melayang ringan dan turun di bawah tanpa menyebabkan satu butirpun kerikil bergerak. Ini menandakan bahwa ilmunya bukanlah ilmu sembarangan saja. Panglima Lin Tung yang melihat hal ini dari atas sadel kudanya tertawa lebar.

“Hahahaa, masih tetap tukang pamer!”

“Panglima Lin, itu guru ka…..”

Belum selesai perkataan Cheng Gao, panglima Lin Tung sudah menjejak sadel kudanya dan melayang ke arah pria berpakaian sutra biru itu. Tinjunya mengepal penuh tenaga dalam mengarah ke dada lawan. Cheng Gao dan keempat pemuda lainnya berseru kaget memperingatkan guru mereka.

“Dasar kau berandal!” teriak pria itu sambil tertawa dan menyambut serangan panglima Lin.

Tinju panglima Lin yang penuh tenaga dihadapi dengan cakar elang oleh pria berbaju biru. Pergelangan tangan panglima Lin Tung dipelintir dan tinjunya diarahkan ke tanah.

“Blarrr!!!”

Debu dan kerikil beterbangan membentuk kabut tipis ketika tinju panglima Lin Tung meledakkan tanah. Kuda-kuda Cheng Gao dan lainnya meringkik ketakutan. Komandan Wu Gan sangat terkejut dengan kejadian ini dan segera memerintahkan para prajuritnya maju ke depan gerbang.

Sementara itu pertarungan antara panglima Lin Tung dan pria berbaju biru itu tetap berlanjut. Keduanya terlihat begitu gembira bertarung seakan-akan menikmati setiap jurus yang dikeluarkan lawan. Setelah bertarung hampir dua puluh jurus, keduanya melompat ke belakang dan tertawa terbahak-bahak. Cheng Gao, para murid serta komandan Wu Gan bersama prajuritnya menjadi terheran-heran melihat kejadian ini.

“Hahahah, kau elang busuk! Ternyata lima tahun tidak bertemu, masih tetap tangguh juga!” teriak panglima Lin Tung dengan senangnya.

“Kau juga! Bagaimana rasanya sekarang menjadi panglima?!” teriak pria berbaju biru dengan tersenyum lebar.

“Yung Lang, senang sekali bisa bertemu denganmu lagi!!”

“Lin Tung, aku juga! Apalagi ketika kudengar kau diangkat menjadi salah satu dari San Lung Ta Ciang (Tiga Panglima Naga). Akhirnya tercapai juga cita-citamu” kata pria berbaju biru yang tak lain adalah Yung Lang sang ketua perguruan Elang Emas.

Kedua sahabat lama itu berangkulan dan tertawa dengan gembira. Komandan Wu Gan yang semula khawatir menjadi lega melihat perkembangan ini. Cheng Gao dan keempat murid lainnya juga menjadi senang melihat guru mereka terlihat sangat gembira.

“Hari ini siapa yang tidak mabuk adalah kura-kura!” kata Yung Lang.

“Baik! Siapa takut!” kata panglima Lin Tung tidak mau kalah.

Murid-muridku! Hari ini aku senang sekali. Kalian boleh berlibur satu hari ini tanpa latihan!” teriak Yung Lang kepada para muridnya.

“Komandan Wu, hari ini aku hanyalah orang biasa. Kau tidak perlu terlalu hormat kepadaku. Pimpinan pasukan dipegang jenderal Zhi Lu dan mereka berkemah di selatan kota. Harap engkau pastikan kebutuhan pasukan” kata panglima Lin Tung.

“Siap panglima!” kata komandan Wu Gan sambil menjura hormat.

“Kau sekarang sudah menjadi panglima hebat dan dihormati banyak orang rupanya” kata Yung Lang menggoda.

“Kau selalu mengejekku ya Yung Lang” kata panglima Lin Tung.

Komandan Wu Gan menyerahkan kudanya kepada panglima Lin Tung kemudian pamit menemui pasukan utama di selatan kota Bing Yuan. Sekarang panglima Lin Tung, Yung Lang dan kelima muridnya menunggang kuda dengan santai menuju perguruan Elang Emas. Kedua sahabat lama itu bercakap-cakap dengan gembira sepanjang perjalanan hingga tiba di depan sebuah rumah besar berhalaman luas. Sebuah papan bertuliskan huruf emas tergantung di atas pintu utama.

“Perguruan Elang Emas! Yung Lang, ternyata cita-citamu mengharumkan nama keluarga tercapai juga” kata panglima Lin Tung sekarang balas menyindir.

“Hahaha, iya. Hanya perguruan kecil di kota kecil. Bukan apa-apa” kata Yung Lang merendah.

“Sekarang kudengar banyak partai bermunculan dan saling berebut pengaruh” kata panglima Lin Tung.

“Benar. Itu sebabnya aku tidak ingin terlalu ikut campur masalah dunia persilatan. Perguruan kecil di kota kecil tidak akan menarik perhatian partai besar seperti Tung Jiang (Tembok Timur) maupun Jai Sen Hui (Perkumpulan Dewa Uang). Merekalah sekarang ikan besarnya” kata Yung Lang dengan santai.

“Iya, aku juga sering mendengar tentang mereka” timpal panglima Lin Tung.

“Nah, selamat datang di rumahku yang sederhana!” seru Yung Lang sambil melompat turun dari kudanya.

Yung Lang bergegas masuk ke dalam perguruannya. Ia memerintahkan dua pelayan untuk membawakan anggur terbaik. Sementara itu Cheng Gao dan murid-murid lainnya mengurus kuda-kuda dan membawanya ke belakang. Panglima Lin Tung berdiri di tengah halaman depan dan memandang pedang dan alat-alat latihan lain yang berjajar rapi di tembok.

“Hari ini semua murid aku liburkan karena aku mendengar kau akan datang. Hanya murid tertua Cheng Gao dan empat lainnya yang masuk. Mungkin sekarang mereka juga sudah kembali pulang” kata Yung Lang.

“Perguruanmu cukup bagus” puji panglima Lin Tung.

“Iya, dulu uang pemberian kerajaan dibelikan rumah ini oleh Chung Ye. Ia senang dengan kota ini dan terutama ia takut uangnya habis kubelikan minuman” kata Yung Lang sambil tertawa.

“Ah, ya. Bagaimana kabarnya dengan Yung Fu-ren (nyonya Yung)?” tanya panglima Lin Tung.

“Aku baik-baik saja panglima Lin. Terima kasih atas perhatiannnya” sahut suara seorang wanita di belakang mereka.

Panglima Lin Tung dan Yung Lang segera menoleh ke belakang. Seorang wanita di usia pertengahan tiga puluhan memakai gaun berwarna putih yang sangat bagus berjalan mendekati mereka berdua. Wajahnya putih bersih. Alisnya panjang dan tebal, matanya bulat cerah dan bibirnya merah merekah. Kecantikannya ditambah lagi dengan hiasan tusuk rambut berbentuk burung hong emas yang menghiasi rambutnya yang tebal.

“Yung Fu-ren tidak berubah selama lima tahun ini” kata panglima Lin Tung.

“Panglima Lin terlalu memuji” kata Chung Ye sambil memberikan salam hormat dengan merendahkan badan.

“Hari ini kau dan aku akan bersenang-senang! Mari masuk ke dalam” ajak Yung Lang sambil menggandeng panglima Lin Tung masuk ke dalam.

Di ruang dalam sudah disiapkan perjamuan dengan berbagai macam makanan khas daerah utara. Tapi yang paling menyenangkan adalah arak terbagus yang memang dibeli Yung Lang untuk menjamu teman lamanya itu. Arak Gadis Merah (Ni Er Hong) yang terkenal tersedia sekitar sepuluh guci. Baunya memenuhi ruangan sehingga sangat menggoda panglima Lin Tung.

“Nah, kau pasti dalam perjalanan kemari kehausan. Apalagi selama menjadi pemimpin pasukan tidak boleh menyentuh arak. Sekarang saatnya memuaskan diri bersama teman lama” kata Yung Lang sambil mengangkat sekendi arak.

“Hahaha, bagus! Yung Lang, kau sangat mengerti diriku! Mari tuangkan” kata panglima Lin Tung dengan gembira.

Dalam sekejap satu guci arak sudah habis diteguk mereka berdua. Guci kedua, ketiga, keempat segera menyusul. Tidak terasa matahari sudah berada di ufuk barat ketika mereka menghabiskan guci kelima. Para pelayan mulai menyalakan lilin dan lentera untuk menerangi ruangan dalam dan luar perguruan Elang Emas.

“Hari ini aku benar-benar gembira. Benar-benar gembira!” seru Yung Lang yang mulai mabuk arak.

“Eh, Yung Lang kau sudah mulai mabuk. Sebaiknya berhenti dulu minumnya” kata panglima Lin Tung yang masih terlihat belum terlalu mabuk.

“Mabuk?! Aku tidak mabuk. Aku sudah memesan sepuluh guci arak Ni Er Hong buat kita berdua. Kita baru minum berapa ya?!” kata Yung Lang sambil menghitung guci-guci arak yang kelihatan berbayang baginya di atas meja.

“Sudahlah. Kau sudah mabuk. Kita berhenti dulu” kata panglima Lin Tung.

“Ini guci keenam. Masih ada empat guci lagi. Ayo Lin Tung! Kita habiskan semuanya” kata Yung Lang sambil berusaha berdiri dengan sempoyongan untuk mengambil guci berikutnya.

Panglima Lin Tung dengan sigap memegang Yung Lang yang roboh ke depan ketika hendak meraih guci arak ketujuh. Rupanya Yung Lang benar-benar mabuk berat karena langsung mendengkur. Dua pelayan segera membantu membopong tubuh Yung Lang masuk ke kamar utama. Chung Ye segera keluar untuk menemui panglima Lin Tung ketika melihat suaminya dibawa masuk dalam keadaan mabuk berat dan mendengkur.

“Panglima Lin Tung, maafkan suamiku tidak bisa menemani anda lagi” kata Chung Ye.

“Ah, tidak apa-apa. Aku senang melihat Yung Lang begitu bersemangat hari ini” kata panglima Lin Tung sambil mengendurkan ikatan jubahnya agar bisa duduk lebih santai. Baju besinya yang berat sudah disandarkan di sebuah kursi tapi tetap saja kain pelindung dadanya masih membebani.

“Benar, suamiku tidak pernah minum sedemikian gembira selama lima tahun terakhir ini” kata Chung Ye membenarkan.

“Ia menghabiskan hampir semuanya sendirian. Mungkin aku hanya minum satu guci sedangkan ia lima guci. Tidak heran ia mabuk berat” kata panglima Lin Tung sambil menggelengkan kepalanya.

“Panglima, kami sudah menyiapkan kamar tamu untuk anda. Jika anda ingin beristirahat sekarang, para pelayan akan mengantarkan anda ke kamar” kata Chung Ye.

“Benar, besok pagi-pagi aku harus berangkat kembali. Tapi sebelumnya aku ingin membicarakan satu hal” kata panglima Lin Tung bangkit berdiri dan wajahnya berubah serius.

“Apakah itu panglima Lin?” tanya Chung Ye heran melihat perubahan sikap tamunya itu.

“Ini mengenai pertandingan antara keluarga Yung dan Cen” kata panglima Lin Tung.

“Ah ya, benar. Beberapa bulan lalu kami menerima surat dari Han Fu-ren. Ia mengatakan bahwa anaknya sekarang sudah cukup umur untuk mempertahankan nama keluarga Cen. Tapi Yung Lang tidak menanggapi hal itu dengan serius. Ia menganggap bahwa apa yang terjadi di masa lalu tidak seharusnya kita lanjutkan. Apalagi Han Li De sebenarnya adalah anak dari keluarga Han, sedangkan keluarga Yung.....”

Chung Ye menahan napas sebentar untuk mengatur perasaannya sebelum melanjutkan.

“Keluarga Yung belum mempunyai penerus. Jadi Yung Lang berpikir apakah tidak sebaiknya pertandingan itu dibatalkan saja”

“Aku juga berkata demikian kepada Han Fu-ren sebelum berangkat kemari, tapi ia tidak mau mendengarkan. Ia menganggap pertandingan ini nantinya akan menjadi pembelajaran yang baik bagi Han Li De untuk menjadi pendekar pedang. Bahkan ia menetapkan tanggal satu bulan depan sebagai tanggal pertandingan. Ia tahu aku pasti akan mampir kemari jadi Han Fu-ren menitipkan pesan ini kepadaku. Aku harap Yung Fu-ren bersedia membicarakan masalah ini nantinya dengan Yung Lang” kata panglima Lin Tung.

“Panglima Lin tidak perlu khawatir. Aku pasti akan membicarakan hal ini baik-baik dengan suamiku” kata Chung Ye.

“Aku menjadi lega mendengarnya. Sekarang saya mohon undur diri dulu untuk beristirahat” kata panglima Lin Tung menutup pembicaraan.

“Silakan” kata Chung Ye sambil meminta dua pelayan untuk mengantarkan tamunya ke kamar.

Setelah semua selesai, Chung Ye kembali ke kamar utama. Ia menutup pintu dengan hati-hati ketika melihat suaminya masih mendengkur dengan pulas. Chung Ye berjalan hati-hati menuju pembaringan tempat Yung Lang tidur dan menyelimutinya dengan penuh rasa sayang. Yung Lang yang merasa terganggu hanya membalikkan diri sambil melenguh kemudian mendengkur lagi dengan keras.

Chung Ye tahu bahwa suaminya tidak hanya gembira menemui sahabatnya yang sudah lama tidak bertemu pada hari ini. Tapi ada alasan lain mengapa Yung Lang membenamkan dirinya dalam arak setiap ada kesempatan. Dua partai besar, Tembok Timur dan Perkumpulan Dewa Uang sudah beberapa lama berebut pengaruh dan sekarang adalah puncaknya. Setiap partai kecil diminta memilih antara Tembok Timur atau Perkumpulan Dewa Uang sebagai induk mereka. Seluruh perguruan kecil di wilayah dekat Tembok Besar sudah menyatakan sikap dan mungkin hanya Perguruan Elang Emas yang masih tetap berusaha tidak memihak.

Sikap seperti ini jelas dianggap sebagai penentangan oleh dua partai besar itu dan mereka tidak henti-hentinya mengirimkan utusan untuk menekan, mengancam dan memaksa Yung Lang mengakui perguruannya adalah cabang dari mereka. Yung Lang tahu ia hanya sendirian dan tidak akan bisa bertahan lama dari tekanan besar tersebut. Sebenarnya Chung Ye tahu bahwa Yung Lang sudah ingin sekali menutup perguruan Elang Emas, hanya saja ia tahu Chung Ye sudah terlanjur menganggap kota Bing Yuan sebagai rumahnya. Sikap seorang pendekar pengembara tentu sangat berbeda dengan seorang wanita rumah tangga. Yang satu ingin kebebasan dan tidak terikat sedangkan yang lain ingin kepastian dan menetap. Chung Ye menyadari bahwa Yung Lang banyak berkorban untuk dirinya.

Sekarang datang lagi masalah baru yang tidak kalah pelik. Keluarga Yung dan keluarga Cen adalah saingan sejak seratus tahun lalu dan tiap generasi mereka selalu mengadu ilmu pedang untuk menunjukkan siapa yang lebih hebat. Tapi pada masa muda Yung Lang, penerus keluarga Cen gugur dan tidak ada lagi yang mengajak tanding. Yung Lang sangat lega mengenai hal ini karena ia menganggap pertandingan antara kedua keluarga tidak ada gunanya selain menambah dendam. Sekarang ternyata nyonya Han malah ingin meneruskan tradisi pertandingan ini, yang tentu saja akan membuat Yung Lang sangat sulit mengambil keputusan. Karena ia belum mempunyai putra maka tentu saja ia sendiri yang akan maju ke depan. Padahal lawan yang dihadapinya adalah keponakan sahabat terbaiknya. Chung Ye tahu Yung Lang pasti tidak ingin bertanding dengan Han Li De. Belum-belum Chung Ye sudah ragu untuk mengatakan hal ini kepada Yung Lang jika ia bangun nanti.

“Suamiku, tidurlah dengan nyenyak” kata Chung Ye dengan penuh kasih membelai rambut suaminya yang tengah tertidur lelap.

**

Panglima Lin Tung memberikan aba-aba kepada semua pasukannya untuk bergerak maju. Suara gemuruh sepuluh ribu prajurit seolah menggetarkan langit dan bumi. Derap langkah kaki mereka yang serentak bagaikan gemuruh badai yang mendekat. Panji-panji berkibaran di mana-mana membuat pemandangan yang menggetarkan hati mereka yang melihatnya.

“Panglima Lin, tunggu!” teriak Cheng Gao yang membedal kudanya melaju mendekati pasukan.

Panglima Lin Tung menunggu kedatangan Cheng Gao yang tiba dengan terengah-engah.

“Anak muda, tenangkan dirimu dulu” kata panglima Lin Tung.

“Maafkan panglima Lin, aku membawa pesan guruku agar panglima berkenan menunggunya sejenak” kata Cheng Gao setelah selesai mengatur napasnya.

“Hmm, baiklah. Aku juga belum sempat berpamitan dengannya. Jenderal Zhu Li, kau atur pasukan berjalan ke utara”

“Siap panglima!” kata jenderal Zhu Li yang segera membedal kudanya ke arah pasukan depan.

Sejenak kemudian tampak Yung Lang membedal kudanya dengan kecepatan tinggi melaju ke arah mereka. Ia melambaikan tangannya dengan gembira ketika melihat panglima Lin Tung berkenan menunggu dirinya.

“Hei, maaf aku bangun terlambat!” seru Yung Lang.

“Dasar kau ini. Tetap saja tidak berubah” kata panglima Lin Tung.

“Hahaha, maaf ya. Kau jadi harus menungguku seperti ini” kata Yung Lang setelah sampai di dekat panglima Lin Tung dan Cheng Gao.

“Tidak apa-apa. Pasukanku adalah pasukan besar. Perjalanan mereka akan dapat dengan mudah kususul dengan kudaku” kata panglima Lin Tung.

“Aku ingin mengucapkan semoga berhasil. Para pemberontak di utara itu adalah sisa-sisa pasukan pemberontak. Aku yakin kau pasti mampu mengalahkan mereka” kata Yung Lang.

“Terima kasih. Aku pasti kembali melewati kota Bing Yuan lagi. Saat itu kau jangan lupa untuk mengajakku minum bersama lagi” kata panglima Lin Tung.

“Ah tentu, tentu sahabatku. Aku sudah menyiapkan sepuluh guci lagi untuk kita berdua” kata Yung Lang dengan gembira.

“Baiklah, aku berangkat sekarang” kata panglima Lin Tung sambil membedal kudanya.

“Sampai jumpa lagi sahabatku!” teriak Yung Lang kepada panglima Lin Tung yang segera menghilang di balik bukit.

Perjalanan panglima Lin Tung dan pasukannya berjalan dengan lancar. Lima hari kemudian mereka tiba di wilayah Liao Dong. Jenderal pasukan perbatasan di sana adalah jenderal Guan Feng Yang. Ia mengepalai lima ribu pasukan tombak dan dua ribu pasukan berkuda. Tapi ketika pasukan panglima Lin Tung tiba di sana, ia hanya diterima seorang komandan bernama Hu Fang, yang merupakan wakil jenderal Guan Feng Yang. Ini tentu saja mengherankan panglima Lin Tung.

“Komandan Hu, mengapa bukan jenderal Guan yang menemuiku?” tanya panglima Lin Tung.

“Maafkan panglima Lin. Jenderal Guan tidak berada di tempat karena sedang mengejar pasukan pemberontak” jawab komandan Hu Fang.

“Oh? Kemana jenderal Guan mengejar para pemberontak?” tanya panglima Lin Tung lagi.

“Pasukan pemberontak tiga hari yang lalu mengacau di sebuah desa kecil di kaki bukit sebelah timur. Bukit itu bernama Ti Suang San (Bukit Tanah Es). Jenderal Guan membawa dua ribu pasukan berkuda untuk mengejar pemberontak, tapi.......”

Komandan Hu Fang terkesan bingung untuk meneruskan.

“Mengapa? Mengapa kau diam komandan Hu?” tanya panglima Lin Tung keheranan melihat sikap komandan Hu Fang.

“Sejak saat itu jenderal Guan dan dua ribu pasukan berkuda tidak pernah kedengaran kabar beritanya lagi” kata komandan Hu Fang.

“Apa maksudmu tidak ada kabar beritanya lagi?! Dua ribu pasukan berkuda tidak mudah untuk bersembunyi bahkan di kawasan pegunungan sekalipun” kata panglima Lin Tung terkejut sekali.

“Benar panglima, hamba sudah memerintahkan ratusan regu pencari tapi sama sekali tidak bisa menemukan mereka. Bahkan tombak atau anak panah satu pun tidak ditemukan. Mereka semua seolah lenyap ditelan bumi”


Tien Xia Wu Jing - Bab 2 Tugas Negara dan Keluarga (bagian 1)

Istana kerajaan dinasti Tang berdiri dengan megah di tengah-tengah kota Chang An. Pusat istana adalah balairung pertemuan yang sangat besar. Di sinilah kaisar melakukan tugasnya sehari-hari mengatur kerajaan. Segala keputusan dilaksanakan di sini termasuk titah kaisar yang paling penting dan mempengaruhi semua orang di dalam kerajaan.

Hari itu seluruh menteri dan jenderal telah berkumpul di dalam balairung dan semua mengenakan pakaian resmi masing-masing. Para pejabat sipil memakai pakaian dan topi pelajar sesuai tingkatan masing-masing, sedangkan para jenderal mengenakan jubah besi dan pelindung dada yang gemerlapan dan bergemerincingan. Semua senjata mereka diletakkan pada para pengawal yang berjaga di depan karena membawa senjata ke depan kaisar hukumannya adalah mati.

Berdiri di jajaran terdepan adalah tiga panglima yang biasa disebut San Lung Ta Ciang (Tiga Panglima Naga). Umur mereka bertiga hampir sepantaran yaitu sekitar empat puluhan. Panglima berpakaian merah adalah Chung Hung yang bergelar Hung Lung (Naga Merah). Tubuhnya kekar, tinggi lebih dari satu tombak, berjambang lebat dan bermata bagaikan elang. Senjata utamanya adalah gada ganda seberat 50 kati dan sangat ditakuti oleh musuh-musuhnya. Ia memimpin pasukan utama kerajaan Tang yang semuanya berjubah merah disebut Pasukan Merah (Hung Ping). Panglima yang berdiri di tengah adalah Lin Tung yang dijuluki Cing Lung (Naga Emas). Ia berdiri gagah dengan baju besi emasnya yang merupakan pemberian kaisar terdahulu. Senjatanya adalah toya besi. Pasukan wilayah seluruhnya berada dalam kekuasaan panglima Lin Tung. Sedangkan panglima ketiga adalah Zhuge Shin yang bergelar Hei Lung (Naga Hitam). Tubuh dan perawakan Zhuge Shin paling kecil di antara ketiganya tapi setiap orang yang bertemu dengannya pasti tidak akan berani meremehkannya. Matanya yang hitam pekat seakan tidak berdasar. Hidungnya mancung dan dahinya lebar menandakan bahwa ia bukan orang sembarangan. Zhuge Shin membawahi pasukan khusus kerajaan yang berjubah hitam dan terkenal tegas dalam menumpas siapapun yang menentang kerajaan. Senjatanya tidak diketahui karena siapapun yang pernah bertarung melawannya tidak pernah ada yang hidup untuk memberitahukan kepada orang lain. Tiga panglima ini adalah pilar dinasti Tang untuk bisa terus tegak berdiri. Semua pejabat dan jenderal sangat menghormati mereka bertiga.

“Yang Mulia Permaisuri tibaa!!”

Dayang-dayang pengiring dan para kasim masuk mendahului permaisuri Wu ke dalam balairung istana. Serentak semua yang hadir langsung berlutut dan memberikan hormat.

“Yang Mulia panjang umur sepuluh ribu tahun!”

Permaisuri Wu di usianya yang sudah tidak muda lagi masih menampakkan kecantikan dan kekuatannya yang tidak terbantahkan. Matanya tajam menyapu semua yang hadir. Ia berjalan dengan tenang menuju singgasana kerajaan dan duduk dengan penuh kewibawaan. Setelah itu ia membalas salam hormat semua pejabat yang hadir. Serentak semua yang hadir kembali berdiri dengan tetap menunduk.

“Hari ini apakah ada yang ingin mengajukan petisi?” tanya sang permaisuri.

Seorang pejabat yang berdiri di barisan belakang segera maju ke depan. Ia membawa sebuah gulungan surat dan menyerahkannya kepada kasim bawahan permaisuri. Sang kasim berlutut di samping permaisuri Wu dan menyerahkan petisi itu tanpa berani memandang. Permaisuri Wu menerima gulungan itu dan membacanya.

“Hamba, Zhong Wen menyampaikan petisi dari perbatasan timur” kata pejabat bernama Zhong Wen itu sambil menyembah di depan singgasana.

“Hmm, katakan apa petisimu” kata permaisuri Wu.

“Hamba mendapat laporan dari wilayah Liao Dong bahwa sisa-sisa pasukan pemberontak tengah membuat kekacauan di sana. Penguasa wilayah yaitu jenderal Guan Feng Yang mohon agar pasukan kerajaan membantu memadamkan kekacauan” jawab Zhong Wen.

Permaisuri Wu menghela napas panjang dan bangkit berdiri. Semua yang hadir menahan napas menantikan kemurkaannya tapi yang keluar dari mulut sang permaisuri Wu justru hanya kata-kata yang lembut.

“Sayang sekali. Pemimpin pemberontak sudah ditumpas tapi pengikutnya masih membuat kekacauan. Pejabat Zhong Wen, berapa orang pemberontak yang mengacau di daerah Liao Dong?”

“Yang Mulia Permaisuri, menurut laporan jenderal Guan Feng Yang, jumlah pemberontak sekitar sepuluh ribu orang” jawab Zhong Wen.

“Baiklah. Sekarang siapakah di antara para pahlawan di sini yang bersedia memadamkan pemberontakan ini?” tanya permaisuri Wu.

Chung Hung segera maju dan bersujud di depan singgasana.

“Yang Mulia, ijinkan hamba yang pergi menegakkan dinasti Tang!” seru Chung Hung dengan gagah.

“Hmm, Panglima Chung memang setia dan gagah berani. Tidak perlu diragukan lagi. Tapi Pasukan Merah belum diperlukan untuk menangani pemberontakan remeh seperti ini. Dinasti Tang yang agung berterima kasih atas pengabdianmu” kata sang permaisuri Wu.

“Hamba menurut Yang Mulia” kata Chung Hung sambil mundur kembali ke tempatnya berdiri.

“Panglima Lin” panggil permaisuri Wu.

“Hamba Yang Mulia!” jawab Lin Tung sambil maju bersujud di depan singgasana.

“Kudengar dulu engkau adalah penduduk asli daerah itu. Bagaimana jika kau yang ke sana membantu jenderal Guan Feng Yang memadamkan pemberontakan?” tanya permaisuri Wu.

“Hamba bersedia berkorban jiwa raga untuk kejayaan dinasti Tang!” jawab Lin Tung tanpa ragu sedikitpun.

“Bagus! Seorang patriot sejati! Panglima Lin Tung, dengarkan perintahku!” seru permaisuri Wu.

“Siap!”

“Tiga hari lagi bawa sepuluh ribu pasukan untuk memadamkan pemberontakan di Liao Dong. Hancurkan semua yang melawan!” kata permaisuri Wu dengan tegas.

“Hamba melaksanakan perintah Yang Mulia!” kata Lin Tung.

“Apakah ada lagi yang ingin mengajukan petisi?” tanya permaisuri Wu sambil menyapukan pandangan ke seluruh ruangan. Namun tidak ada jawaban dan hanya ada keheningan saja,

“Bagus! Hari ini rapat negara dibubarkan” kata permaisuri Wu sambil berlalu.

“Panjang umur Yang Mulia sepuluh ribu tahun!” seru semua yang hadir.

**

Panglima Lin Tung langsung sibuk menyiapkan pasukan setelah pulang dari istana. Sepuluh ribu pasukan adalah jumlah yang besar. Waktu tiga hari sebenarnya sangat-sangat pendek tapi untunglah sebagian besar pasukan memang sudah berkumpul di kotaraja sehingga tidak perlu waktu banyak mengumpulkan mereka lagi. Hanya saja perbekalan yang harus benar-benar segera disiapkan.

Bawahan panglima Lin Tung ada empat orang jenderal. Pertama adalah jenderal Zhi Lu, seorang jenderal pemberani yang meskipun umurnya masih tiga puluh tahun tapi sudah kenyang pengalaman bertempur. Ia adalah pemimpin pasukan perintis sekaligus kepala pelatih tempur pasukan panglima Lin Tung. Senjatanya adalah tombak cagak. Jenderal Zhi Lu dikenal sebagai Hei Lei Ciang Cing (Jenderal Guntur Hitam) karena selain kulit tubuhnya yang gelap, teriakan suaranya juga menggelegar.

Kedua adalah jenderal Fu Qin yang merupakan jenderal sayap kanan pasukan panglima Lin Tung. Usianya sudah hampir enam puluh tahun, rambutnya sudah memutih tapi tetap terlihat kuat dan gagah. Senjatanya adalah pedang bergagang panjang. Ketiga adalah jenderal sayap kiri Wang Wu Lin yang berusia sekitar lima puluh tahun. Ia dikenal ahli memanah dan pengendara kuda yang lihai. Panglima Lin Tung sangat percaya kepadanya baik secara pribadi maupun dalam pertempuran karena sifat Wang Wu Lin yang jujur dan setia.

Keempat adalah jenderal barisan belakang dan perbekalan, jenderal Zhuo Ning. Usianya sepantaran dengan jenderal Fu Qin dan meskipun selalu mendapatkan tempat di bagian belakang pasukan, tapi kemampuan perangnya jangan diragukan. Dulu jenderal Zhuo Ning adalah seorang pemimpin bandit gunung yang sangat ditakuti berjuluk Hu Wang (Raja Harimau). Beruntung ia kemudian bertemu panglima Lin Tung dan mengubah jalan hidupnya. Senjatanya adalah sepasang golok cincin. Setiap musuh yang mendengar gemerincing cincin-cincin yang terkait di mata goloknya pasti akan merasa gentar mengingat betapa banyaknya orang yang telah tumbang ditebas oleh senjata maut itu.

Keempat jenderal itu adalah bawahan panglima Lin Tung dan selalu mengikuti ke manapun panglima Lin Tung bertempur. Tidak terkecuali kali ini. Mereka berempat sangat sibuk mengatur pasukan terutama jenderal Zhuo Ning yang bertanggung jawab atas perbekalan. Perjalanan ke wilayah Liao Dong amat jauh dan melelahkan, memakan waktu hampir sebulan berkuda bersama pasukan. Sementara itu pasukan harus terus dijaga keadaannya agar ketika tiba di Liao Dong siap langsung bertempur. Tidak terasa hari ketiga sudah tiba sejak masa persiapan dimulai. Panglima Lin Tung memanggil keempat jenderalnya untuk memberikan perintah.

“Jenderal Zhuo, hari ini adalah hari persiapan terakhir kita. Perintahkan para prajurit untuk berlibur sehari. Biarkan mereka berpamitan dengan keluarga dan teman-teman mereka” kata panglima Lin Tung.

“Siap, panglima!” kata jenderal Zhuo Ning.

“Hari ini para jenderal sekalian juga beristirahat. Besok kita akan berangkat menuju tujuan yang jauh. Besok pagi-pagi sekali kita semua berkumpul di gerbang barat. Yang Mulia Permaisuri Wu sendiri yang akan mengantarkan kepergian pasukan kita. Harap semua mempersiapkan diri dengan baik” perintah panglima Lin Tung.

“Siap!” seru keempat jenderal serentak.

Panglima Lin Tung keluar menuju tempat kudanya ditambatkan. Dua orang prajurit yang menjaga kuda dan senjatanya serentak menunduk menghormat melihat kedatangan sang panglima. Toya besi andalan panglima Lin Tung dan kekang kuda diserahkan dengan hormat.

“Kalian berdua pulanglah! Besok pagi-pagi sekali semua berkumpul di gerbang barat!” kata panglima Lin Tung sambil membedal kudanya.

“Siap panglima!” jawab kedua prajurit itu dengan menjura.

Panglima Lin Tung melarikan kudanya dengan kecepatan sedang menuju ke sebelah barat kotaraja. Beberapa pengawalnya berlari di belakangnya sambil membawa panji bertuliskan Cing Lung Ta Ciang (Panglima Naga Emas). Baju besi emasnya yang berkilauan ditimpa sinar matahari menambah wibawa sang panglima. Di mana-mana di jalan yang dilewatinya, para penduduk membungkuk memberi hormat. Panglima Lin Tung terkenal karena sikapnya yang merakyat dan tidak mementingkan diri sendiri sehingga ia disukai rakyat jelata. Latar belakang panglima Lin Tung yang berasal dari bawah membuatnya lebih bisa berbaur dengan rakyat kebanyakan. Apalagi panglima Lin Tung juga merupakan murid mendiang rahib Tien Fa dari kuil Shaolin sehingga rasa keadilan dan kebajikan telah tertanam dalam dirinya sejak muda.

Panglima Lin Tung berhenti tepat di depan sebuah wisma yang besar tidak jauh dari istana. Wisma itu meskipun tua tapi terlihat terawat dan bersih. Di atas gerbangnya tertulis Han Cia Cuang (Wisma Keluarga Han). Panglima Lin Tung turun dari kudanya dan bergegas menuju pintu. Seorang pelayan tua yang tampaknya sudah menyadari kehadiran pejabat besar di depan pintu, langsung membuka pintu lebar-lebar dan membungkuk dengan hormat kepada panglima Lin Tung.

“Hormat saya kepada panglima Lin” kata pelayan itu.

“Hmm, apakah nyonya Han dan tuan muda ada di rumah?” tanya panglima Lin Tung.

“Ada, mereka sedang berada di dalam. Silakan masuk panglima Lin” jawab pelayan itu sambil berjalan mendahului.

Panglima Lin Tung dipersilakan duduk di ruang utama. Para pelayan dan dayang segera menyuguhkan teh untuk menyambut kehadiran tamu terhormat ini. Pelayan tua yang setia bernama paman Chung segera masuk ke dalam untuk memberitahukan kedatangan panglima Lin Tung. Nyonya Han yang sedang berada di kamar langsung merapikan pakaiannya.

“Paman Chung, suruh De-er menemui panglima Lin juga” kata nyonya Han.

“Baik nyonya” kata paman Chung.

Paman Chung segera bergegas menuju ke kamar tuan mudanya. Han Li De dihukum dikurung di kamar selama beberapa hari akibat perbuatannya berani datang ke Paviliun Awan Merah. Tentu saja hal ini membuat Han Li De amat bosan. Ia hanya bisa membaca buku dan tiduran saja, padahal ia amat ingin keluar berjalan-jalan bersama teman-temannya. Kedatangan paman Chung segera disambut gembira oleh Han Li De.

“Paman Chung! Apakah ibu yang menyuruh paman kemari?” tanya Han Li De kegirangan.

“Benar tuan muda, nyonya yang menyuruhku kemari” jawab paman Chung.

“Hore! Aku bisa bebas akhirnya!” teriak Han Li De gembira.

“Tuan muda, nyonya menyuruhmu keluar menemui panglima Lin. Nyonya tidak mengatakan apa-apa tentang hukumanmu” kata paman Chung.

“Apa?!” kata Han Li De kaget dan tidak jadi senang.

“Benar, panglima Lin sekarang sedang menunggu di ruang utama. Nyonya memintamu menemaninya menemui panglima Lin” kata paman Chung.

“Baiklah, daripada aku terus terkurung di sini. Lebih baik aku bertemu paman Lin. Siapa tahu aku bisa diajaknya keluar” kata Han Li De penuh harapan.

Han Li De berlari dengan penuh semangat menuju ruang utama. Ketika ia tiba di sana, ibunya dan panglima Lin Tung sudah bertemu dan bercakap-cakap dengan serius. Ia tidak sengaja mendengarkan kalimat-kalimat terakhir percakapan mereka.

“Apakah Han Fu-ren (nyonya Han) yakin akan meneruskannya?” tanya panglima Lin Tung.

“De-er sudah cukup dewasa. Lagipula selama beberapa tahun ini ia sudah berlatih cukup keras. Aku yakin ia bisa” jawab nyonya Han dengan tegas.

“Tapi...”

“Ada apa ini paman Lin hari ini datang kemari?!” tanya Han Li De dengan bersemangat.

“Ah, De-er! Kau semakin besar saja!” seru panglima Lin Tung ketika melihat Han Li De masuk.

“Paman Lin, aku ingin....”

“Hmmm....” dehem nyonya Han menegur.

“Ah! Salam hormat untuk paman Lin!” kata Han Li De segera setelah menyadari deheman ibunya.

“Ah, tidak perlu terlalu sopan. Aku senang melihatmu sehat-sehat saja” kata panglima Lin Tung tersenyum.

“De-er sangat bandel. Ia harus diajar tatakrama dan sopan santun dengan baik. Ia nantinya akan menjadi penerus keluarga Han” kata nyonya Han sambil melirik ke arah Han Li De.

“Paman Lin, aku ingin tahu bagaimana kabar Xiao Wu dan Xiao Wen” kata Han Li De seolah tidak mendengarkan sindiran ibunya.

“Mereka baik-baik saja. Mereka juga sangat ingin bertemu denganmu. Kapan-kapan datanglah ke rumah” kata panglima Lin Tung.

“Tentu! Aku sudah tidak sabar ingin bermain dengan mereka” kata Han Li De dengan gembira.

“De-er, jangan mengganggu panglima Lin dengan permainanmu. Hari ini dia datang untuk tugas negara” kata nyonya Han yang segera membuat Han Li De terdiam.

“De-er, hari ini aku datang hendak meminjam peta wilayah Liao Dong yang dibuat oleh mendiang leluhurmu, Han Sing” kata panglima Lin Tung.

“Oh?! Mengapa paman Lin ingin meminjam peta wilayah Liao Dong, bukankah wilayah itu sangat jauh dari kotaraja?” tanya Han Li De heran.

“Benar. Tapi terjadi pemberontakan di wilayah tersebut dan aku mendapatkan titah Yang Mulia untuk memimpin pasukan menghancurkan para pemberontak. Leluhurmu Han Sing dulu pernah bertempur di utara bersama panglima besar Sie Ren Kui. Ia menggambarkan wilayah itu dengan lengkap sehingga akan sangat membantu jika aku bisa meminjamnya untuk keperluan pasukan” jelas panglima Lin Tung.

“Panglima Lin, kami keluarga Han turun-temurun bekerja demi kejayaan dinasti Tang. Tentu saja kami akan meminjamkannya kepada anda” kata nyonya Han sambil memerintahkan paman Chung untuk mencari peta yang dimaksud di ruang baca keluarga.

“Terima kasih nyonya Han” kata panglima Lin Tung sambil menjura.

Sejenak kemudian, paman Chung keluar dengan membawa sebuah kotak kayu berukir yang dibawanya dengan hati-hati sekali. Nyonya Han menerima kotak itu dan memberikannya kepada panglima Lin Tung.

“Semoga ini bisa membawa kemenangan bagi anda panglima” kata nyonya Han dengan tulus.

“Terima kasih sekali. Aku pasti akan memakai peta ini dengan sebaik-baiknya demi kepentingan dinasti Tang” kata panglima Lin Tung gembira menerima peta itu.

“Dan panglima Lin, sampaikan salamku seperti yang tadi kita bicarakan” kata nyonya Han dengan nada suara yang berubah serius sehingga membuat Han Li De merasa heran.

“Tentu, tentu. Pasti akan kusampaikan” kata panglima Lin Tung.

Sejenak kemudian panglima Lin Tung berpamitan karena masih banyak tugas yang harus dilakukan sebelum keberangkatan pasukan. Han Li De mengantarnya sampai pintu gerbang.

“De-er, jagalah dirimu baik-baik” kata panglima Lin Tung sambil menepuk pundak Han Li De.

“Tentu, paman Lin juga harus menjaga diri baik-baik di medan perang. Pulanglah dengan selamat” kata Han Li De sambil menjura.

Panglima Lin Tung mengangguk dan dengan satu gerakan ringan naik ke atas sadel kudanya. Ia segera membedal kudanya kembali ke arah timur. Han Li De memandang kepergian panglima Lin Tung dengan perasaan kagum. Betapa ingin ia suatu hari juga menjadi seorang jenderal ternama, maju ke medan perang memenangkan pertempuran demi kerajaan. Sayang sekali ibunya sangat menjaga dirinya dan tidak memperbolehkannya mengikuti ilmu kemiliteran. Padahal setahu Han Li De, kakeknya adalah seorang jenderal ternama yang dikagumi banyak orang.

Han Li De sudah akan berjalan kembali ke kamarnya ketika tiba-tiba ia dikejutkan dengan desingan pedang di belakang kepalanya. Han Li De segera bergerak menghindar. Nyaris saja kepalanya tertebas pedang lawan jika saja terlambat beberapa saat. Han Li De segera memasang kuda-kuda dan melihat siapa lawan yang berusaha membokongnya barusan.

“Siapa kau?!” bentak Han Li De dengan marah ketika melihat penyerangnya memakai baju dan cadar hitam siap dengan pedang terhunus.

“Siapa aku tidak penting. Yang penting kau harus mati!” bentak penyerang gelap itu.

“Kurang ajar! Berani sekali kau masuk ke dalam wisma keluarga Han dan membuat kacau!” teriak Han Li De dengan marah. Sementara ia berbicara, matanya mencari-cari kalau-kalau ada pedang yang bisa dipakainya untuk melawan sang penyerang gelap.

“Kau perlu senjata?! Ini ambil!” ejek sang penyerang sambil melemparkan pedangnya kepada Han Li De dan mengambil pedang pendek yang tersarung di pinggangnya.

“Kau meremehkanku! Lihat pedang!” teriak Han Li De dengan marah dan maju menyerang.

Sang penyerang berpakaian gelap menerima serangan ganas Han Li De dengan sangat tenang dan terarah. Setiap sambaran pedang ilmu Pedang Gagak Putih diterima dengan baik sekali. Bahkan setiap kali pedang keduanya berbenturan, tangan Han Li De langsung terasa kebas. Ini menandakan tenaga dalam lawannya masih setingkat di atas dirinya.

Han Li De bukanlah seorang yang mudah menyerah. Ia sudah terbiasa dilatih keras oleh ibunya sejak kecil dengan jurus-jurus pedang keluarga ibunya. Karena itu ketika melihat lawannya lebih kuat dari dirinya, Han Li De segera mengubah taktik penyerangannya. Ia menggunakan jurus Fei Wu Cien Jao (Gagak Terbang Menebas Rumput) yang lebih mengarah ke bagian kaki lawannya. Han Li De berlutut dan menusukkan pedangnya dengan ganas sehingga lawannya kewalahan dan mundur terus.

“Bagus juga kau!” puji lawannya sambil melompat ke atas.

Penyerang gelap itu terbang dengan ringan ke atas dan mengaitkan kedua kakinya ke balok rumah. Kini ia menyerang dengan posisi tergantung terbalik. Han Li De kaget menerima serangan kejutan seperti ini. Jurus Gagak Terbang Menebas Rumput tidak bisa dipakai dalam keadaan seperti ini. Han Li De berusaha mengubah jurus menjadi jurus serangan atas tapi lawannya sudah mendahului menekan.

Pedang lawannya menusuk dengan kecepatan tinggi dari atas bagaikan hujan deras. Mau tak mau Han Li De terdesak mundur terus dan hanya bisa bertahan. Lawannya dengan sigap menggunakan kaitan kedua kakinya maju menyerang tanpa memberikan kesempatan bernapas sedikit pun kepada Han Li De. Pedang keduanya berdesingan dengan cepat dan menebarkan bunga api kemana-mana.

Han Li De sadar dirinya terdesak hebat segera mengubah gaya pedangnya. Ia melepaskan diri dari tekanan lawan dengan cara ikut melayang ke atas dan bergantungan di balok rumah dengan tangan kirinya sedang tangan kanannya meladeni serangan lawan. Kini keduanya bergantungan di atas balok rumah sambil terus bertarung.

Tidak terasa sudah hampir lima puluh jurus berlalu dan keduanya masih belum bisa menjatuhkan lawan. Sang penyerang gelap berteriak keras dan meloncat turun ke bawah. Han Li De segera mengikuti untuk menekan lawan tapi segera dihentikan dengan gerakan tangan musuhnya.

“Mengapa berhenti?! Apakah kau takut?!” bentak Han Li De sambil mengatur napasnya.

Sang penyerang gelap tidak berkata apa-apa hanya membuka bebatan kain hitam yang membungkus kepalanya. Betapa kagetnya Han Li De ketika menyadari sang penyerang gelap itu adalah ibunya sendiri!

“Ibu?! Mengapa?!” kata Han Li De keheranan. Ia segera menjura dan berlutut di hadapan ibunya.

Nyonya Han mengeluarkan gulungan kain kecil dari dalam mulutnya sebelum berbicara. Rupanya itulah yang mengubah suaranya tadi sehingga tidak dikenali Han Li De. Ia segera menghampiri anaknya dan mengangkat Han Li De kembali berdiri.

“De-er, kau sudah cukup mampu bermain pedang sekarang” kata nyonya Han dengan bangga.

“Ibu, maafkan aku sudah bertindak lancang terhadap ibu” kata Han Li De.

“Tidak apa-apa. Aku memang sengaja menyamar berpakaian seperti ini agar kau tidak segan-segan mengeluarkan seluruh kemampuanmu. Dan kulihat kemampuan sudah lumayan” puji ibunya.

“Aku masih harus banyak berlatih” kata Han Li De merendah.

“Memang benar. Tapi aku yakin kau sekarang sudah cukup bisa memainkan seluruh jurus pedang Gagak Putih keluargaku. Dan kau sudah siap sekarang” kata nyonya Han.

“Siap?! Ibu, siap untuk apa?” tanya Han Li De heran.

“Siap untuk bertanding mempertaruhkan kehormatan keluarga Cen” jawab nyonya Han.

“Tapi, tapi aku bermarga Han” kata Han Li De lagi.

“Benar, tapi engkau juga satu-satunya penerus keluarga Cen yang masih hidup. Jadi pertarungan ini akan berada di pundakmu” kata nyonya Han.

“Ibu, aku masih tidak mengerti. Lagipula tadi ibu menyerangku dengan jurus pedang yang tidak pernah kulihat sebelumnya. Apakah itu jurus-jurus baru yang harus kupelajari nantinya?” tanya Han Li De.

“Bukan, itu adalah jurus-jurus pedang keluarga Yung. Namanya ilmu Pedang Elang Emas. Itulah lawan yang harus kauhadapi nantinya” jawab nyonya Han.

**