Wednesday, October 28, 2009

Tien Xia Wu Jing - Bab 3 Terjebak (bagian 1)


“Ibu, aku tidak mengerti maksud ibu?! Mengapa aku harus ke kota Bing Yuan untuk bertanding dengan orang tidak pernah kukenal seumur hidupku?” tanya Han Li De keheranan.

“Karena ini adalah untuk membela nama keluarga ibumu” kata nyonya Han sambil melihat para pelayan menyiapkan bekal Han Li De di perjalanan.

“Jadi selama ini ibu melarangku bertanding dengan siapapun lalu tiba-tiba menyuruhku bertarung membela nama keluarga di sebuah kota kecil di utara, begitu maksud ibu?” kata Han Li De masih marah dan heran.

“Ya, memang begitu maksud ibu. De-er, kita sudah bicara panjang lebar semalam. Lagipula bukankah kau memang selalu ingin bepergian ke luar kotaraja?! Sekarang saatnya dan kau mengeluh terus” kata nyonya Han tidak sabaran.

“Ibu, aku memang selalu ingin melihat dunia, tapi tidak dengan cara terpaksa seperti ini. Apalagi harus bertanding mati-matian dengan orang yang tidak pernah kukenal” kata Han Li De.

“Kenapa? Kau takut?!” tanya nyonya Han dengan pandangan menusuk sehingga Han Li De terkejut.

“Aku tidak pernah takut mati, seharusnya ibu tahu itu” kata Han Li De tersinggung dengan pandangan ibunya.

“Jadi lakukan saja. Semua ilmu pedang keluarga Cen sudah kuajarkan kepadamu. Tinggal bagaimana kau menggunakannya saja” kata nyonya Han.

“Pertandingan antar keluarga ini sudah lama terjadinya. Apakah tidak sebaiknya dibatalkan saja” kata Han Li De masih mencoba lagi.

“Ini adalah pertandingan kehormatan. Seharusnya kau bangga. Lagipula ini jauh lebih terhormat daripada pertarungan jalanan di rumah bordil yang kau lakukan tempo hari” kata nyonya Han mulai marah.

Han Li De memutuskan tidak memperpanjang pertengkarannya dengan sang ibu. Ia tahu bahwa sekali ibunya sudah memutuskan sesuatu maka akan sangat sukar bagi siapapun untuk mengubahnya. Saat itu Hong Tou datang sambil membawa sebuah bungkusan besar.

“Kakak De aku memasak masakan kesukaanmu untuk bekal di perjalanan. Semoga kau suka” kata Hong Tou sambil tersenyum manis dan menyerahkan bungkusan itu.

“Hmm. Terima kasih” kata Han Li De dengan ogah-ogahan karena masih kesal dengan pembicaraan barusan.

“Kakak De, kau tidak suka?!” tanya Hong Tou penuh khawatir melihat wajah mendung Han Li De.

“Ah, tidak. Aku selalu suka masakanmu. Aku hanya kesal saja” kata Han Li De sambil melirik nyonya Han.

“Nah, De-er, sekarang semua sudah siap. Paman Chung sudah mempersiapkan kuda bagimu. Berangkatlah mumpung hari masih pagi. Pendekar Yung akan menulis surat kepadaku segera setelah kau tiba di sana. Dan ingat, berhati-hatilah selama dalam perjalanan” kata nyonya Han.

“Baik ibu” jawab Han Li De.

“Nah, tuan muda, ini kudanya. Kuda ini sangat sehat dan kuat. Namanya Hei Tien (Kilat Hitam). Ia bisa berlari beberapa ratus li sehari. Kuda ini cocok sekali bagi tuan muda” kata paman Chung sambil menuntun seekor kuda berwarna hitam yang sangat kekar.

Wajah Han Li De berubah sedikit cerah melihat kuda kekar yang dibawa paman Chung. Kuda itu benar-benar kuda pilihan. Tingginya lebih dari satu tombak, keempat kakinya kekar dan punggungnya kuat. Hei Tien meringkik keras ketika Han Li De mengusap kepalanya.

“Hei Tien, nama yang cocok untukmu” kata Han Li De.

“Kakak De, berhati-hatilah di jalan” kata Hong Tou mengucapkan salam perpisahan.

“Iya, aku akan berhati-hati” kata Han Li De.

“De-er, ingatlah jangan bermain-main di sepanjang perjalanan. Pendekar Yung menantimu di sana” kata nyonya Han mengingatkan.

Hei Tien mendengus keras ketika Han Li De menarik tali kekangnya. Han Li De sebenarnya juga ingin mendengus keras sebagai jawaban kepada ibunya tapi ia sadar bahwa itu tidak baik jadi ia menjura dari atas kuda kepada ibunya untuk mengucapkan salam perpisahan.

“Ibu, aku berangkat dulu”

Nyonya Han dan lainnya mengantar sampai Han Li De hilang di belokan sudut jalan. Hong Tou sangat sedih karena selama ini ia belum pernah berpisah lama dengan Han Li De. Nyonya Han juga merasakan hal yang sama tapi ia berusaha menekan perasaannya. Dadanya terasa sesak dan ia terbatuk-batuk. Cairan kental berwarna merah tua melekat pada telapak tangannya yang ia gunakan untuk menutupi mulutnya barusan.

“Nyonya, apakah anda tidak apa-apa?” tanya paman Chung dengan penuh rasa khawatir.

“Paman, aku baik-baik saja” jawab nyonya Han singkat.

“Apakah tuan muda tahu....”

“Cukup paman Chung. Aku sudah mengatakan kita tidak perlu memberitahunya” tukas nyonya Han sambil berlalu masuk ke dalam wisma keluarga Han.

Sementara itu Han Li De sudah mulai keluar dari gerbang timur kotaraja. Segera setelah ia mulai berada di jalan terbuka, Han Li De memacu Hei Tien sekencang-kencangnya. Ternyata kuda itu memang sanggup berlari amat cepat dan bertenaga. Sebentar saja kotaraja sudah tidak terlihat dan pemandangan digantikan oleh persawahan, kemudian padang rumput dan setelah itu hutan. Angin segar menerpa wajah Han Li De tapi tetap saja tidak mampu mengusir kegalauan hatinya.

“Mengapa aku bisa terjebak dalam keadaan ini?” keluh Han Li De kepada dirinya sendiri.

**

Panglima Lin Tung dan keempat jenderalnya maju dengan hati-hati menilik keadaan. Tapi sepertinya tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Suasana desa Guo An sangat sepi dan tidak terlihat sesuatu yang mencurigakan. Beberapa ekor ayam dan kambing tengah mencari makan di antara jalan desa sementara dua ekor sapi melenguh di tengah kebun.

“Kelihatannya aman, tapi tidak tampak seorang manusiapun” kata panglima Lin Tung.

“Mungkin penduduk desa ini sudah melarikan diri semuanya begitu gerombolan pemberontak menyerang” kata jenderal Fu Qin memberikan pendapat.

“Aku rasa juga demikian. Baiklah malam ini kita berkemah di desa ini. Besok kita akan berangkat ke bukit Ti Suang. Katakan kepada para prajurit mereka boleh mengambil hewan ternak yang ada di sini untuk makan malam” perintah panglima Lin Tung.

“Siap panglima!” seru keempat jenderalnya serentak.

Sepuluh ribu pasukan segera bersiap mendirikan kemah dan peralatan masak. Matahari musim gugur di wilayah utara cepat meredup. Sebentar saja hari sudah gelap. Untunglah kemah utama tempat para jenderal beristirahat sudah berdiri sehingga mereka bisa membaringkan diri.

Tapi di kemah utama, panglima Lin Tung justru tengah sibuk melihat peta yang ia pinjam dari nyonya Han. Peta itu meskipun tua dan sudah mulai kabur, tapi sangat jelas dalam menandakan tempat, sungai, wilayah desa dan kota. Panglima Lin Tung merasa senang bisa memiliki peta itu karena ia menjadi sangat terbantu. Ia memang lahir di wilayah utara ini tapi tidak terlalu paham seluk beluk daerah perbatasan dengan Tembok Besar dan wilayah Han-guo (Korea).

“Panglima, anda tidak beristirahat?!” tanya jenderal Wang Wu Lin ketika masuk dan melihat panglima Lin Tung masih asyik memperhatikan peta.

“Aku masih belum lelah. Lagipula aku ingin tahu bagaimana persiapan pasukan kita besok memasuki bukit Ti Suang. Jenderal Wang, mendekatlah dan lihatlah peta ini” kata panglima Lin Tung.

Jenderal Wang Wu Lin menjura dan berjalan mendekat. Ia melihat sebuah peta kuno yang masih terawat baik dan berseru kagum melihat kejelasan yang diperlihatkan sang pembuat peta.

“Peta ini bagus sekali! Pasti pembuatnya membutuhkan banyak waktu untuk membuat ini” kata jenderal Wang memuji.

“Benar sekali. Nah, sekarang kita berada di desa Guo An, di sini” kata panglima Lin Tung menunjuk pada titik di kanan atas peta.

“Dan ini adalah bukit Ti Suang, hanya sepuluh li utara jauhnya dari desa ini” kata jenderal Wang.

“Iya. Di utara bukit Ti Suang hanya ada hutan lebat sejauh lima puluh li tanpa ada jalan besar. Setelah itu perbatasan dengan wilayah Han-guo. Di timur hanya ada padang rumput dan Tembok Besar. Aku yakin sekali para pemberontak pasti bersembunyi di sekitar sini. Hutan ini pasti menjadi persembunyian mereka” kata panglima Lin Tung sambil mengetukkan jarinya di atas tulisan hutan di peta.

“Benar, untunglah kita dibantu oleh penduduk desa sekitar dalam pencarian kita besok. Ini akan membuat pencarian kita lebih mudah” kata jenderal Wang Wu Lin.

“Aku pikir juga begitu. Penduduk yang tahu daerah ini akan sangat membantu” kata panglima Lin Tung setuju.

“Panglima, bolehkah.....aku bertanya sesuatu” kata jenderal Wang Wu Lin ragu-ragu.

“Silakan. Tidak perlu ragu-ragu” kata panglima Lin Tung agak heran melihat sikap jenderal Wang.

“Ini mengenai pasukan jenderal Guan Feng Yang. Menurut panglima apa yang terjadi dengan mereka? Dua ribu pasukan berkuda dan tidak ada satupun yang kembali. Tidakkah ini sangat aneh?” tanya jenderal Wang.

“Jenderal Wang, kau benar. Menurutku ini juga aneh. Aku pernah bertemu dengan jenderal Guan dulu di kotaraja dan menurutku ia seorang yang cerdas dan penuh perhitungan. Tidak mungkin ia bisa masuk jebakan musuh dengan begitu mudahnya sampai seluruh pasukannya hancur. Bahkan tidak satupun dari pasukannya yang bisa kembali ke Liao Dong. Ini sebenarnya sangat aneh” kata panglima Lin Tung.

“Panglima, bolehkah aku mengajukan usul” kata jenderal Wang.

“Silakan”

“Para pemberontak entah bagaimana caranya pasti telah menyiapkan sebuah serangan jebakan bagi kita. Usulanku adalah kita mengirimkan satu orang utusan setiap setengah hari untuk kembali kemari melaporkan perkembangan keadaan kita kepada komandan Hu Fang. Jadi jika terjadi sesuatu kepada pasukan kita, maka komandan Hu Fang bisa cepat mengetahuinya. Ia bisa mengirimkan bantuan dan melaporkan kejadian ini kepada istana. Tidak perlu harus menunggu berhari-hari seperti saat ini ketika jenderal Guan dan pasukannya menghilang” kata jenderal Wang.

“Bagus! Usulanmu sangat bagus, jenderal Wang. Kita akan mengirimkan utusan pada pagi, siang dan malam hari sehingga keadaan kita dapat lebih cepat diketahui. Komandan Hu Fang nanti akan kuberi perintah untuk segera memberitahu istana apabila tiga utusan kita tidak datang. Dengan demikian ia hanya akan tertinggal setengah hari bila kita terjebak pasukan pemberontak” kata panglima Lin Tung dengan gembira.

“Panglima Lin, apakah tidak sebaiknya anda menunggu di benteng Liao Dong saja? Biarkan kami berempat yang maju ke garis depan. Dengan demikian jika terjadi apa-apa, maka keselamatan panglima akan terjamin” kata jenderal Wang.

“Eh, jenderal Wang, tidak bisa begitu. Aku adalah seorang panglima. Aku seharusnya berada di garis depan melawan musuh. Jika aku hanya berdiam diri di Liao Dong sementara pasukan maju berperang, aku yakin semangat pasukan akan hilang. Lagipula Yang Mulia sudah mengutus aku untuk menghancurkan para pemberontak. Titah Yang Mulia tidak bisa kuabaikan” kata panglima Lin Tung.

“Panglima Lin memang gagah. Aku merasa bangga bisa berada di bawah perintah panglima” kata jenderal Wang Wu Lin sambil menjura hormat.

“Hahah, kau terlalu memuji. Nah sekarang mungkin kita semua harus beristirahat. Besok pagi-pagi kita akan berangkat ke bukit Ti Suang. Kita perlu tubuh yang segar untuk menghadapi segala kemungkinan” kata panglima Lin Tung menutup pembicaraan.

“Siap panglima!” kata jenderal Wang Wu Lin mengundurkan diri.

Malam itu berlalu dengan tenang. Para prajurit yang telah mengenyangkan diri dengan hewan ternak milik para penduduk desa Guo An tertidur dengan pulas. Beberapa ratus prajurit lain berjaga-jaga di sepanjang perkemahan dan menghangatkan diri dengan membuat api unggun. Panglima Lin Tung membaringkan dirinya di atas tempat tidur dengan masih berpakaian lengkap kecuali tanpa baju besi Naga Emasnya yang disandarkan di kursi. Ia sudah terbiasa tidur berpakaian lengkap selama masa-masa perang agar supaya siap jika terjadi sesuatu. Toya besi andalannya ia letakkan di samping tempat tidur agar mudah dijangkau. Segera saja napas panglima Lin Tung menjadi teratur dan ia tertidur pulas.

Esok harinya, ketika ayam hutan mulai berkokok, sepuluh ribu prajurit mulai bersiap-siap berangkat ke bukit Ti Suang. Perkemahan dan tenda dibongkar, kuda-kuda disiapkan dan gerobak perbekalan mulai dibenahi. Sebelum matahari terlalu tinggi, seluruh pasukan sudah siap berangkat. Panglima Lin Tung maju ke depan pasukan bersama empat jenderalnya untuk memberikan perintah kepada pasukan.

“Jenderal Zhi Lu, bagaimana dengan pemandu kita?!” tanya panglima Lin Tung setelah melihat seluruh pasukan sudah siap.

“Ia sudah siap panglima. Pengawal, bawa ia maju ke depan panglima” kata jenderal Zhi Lu.

Seorang laki-laki berumur sekitar empat puluh tahun dan berpakaian petani kasar maju ke depan panglima Lin Tung dikawal dua orang prajurit. Ia tampak ketakutan dan bingung melihat begitu banyaknya pasukan. Apalagi ketika berhadapan dengan panglima Lin Tung yang berbaju besi Naga Emas dan menyandang toya besi andalannya. Petani itu langsung bersujud memberi hormat kepada panglima Lin Tung.

“Hormat hamba, Yang Mulia” kata petani itu masih gemetaran.

“Tidak perlu takut, kami adalah prajurit dinasti Tang Agung. Kami adalah pelindung kerajaan” kata panglima Lin Tung ketika melihat petani itu ketakutan di hadapannya.

“Ba..baik Yang Mulia” kata petani itu masih bersujud dengan muka menghadap tanah.

“Bangkitlah. Aku panglima Lin Tung. Siapa namamu?” tanya panglima Lin Tung.

“Hamba…hamba bernama Zhang Wen” jawab petani yang bernama Zhang Wen itu sambil beringsut bangun.

“Nah, Zhang Wen, kudengar kau adalah penduduk daerah sini. Apakah kau mengerti seluk beluk wilayah bukit Ti Suang?” tanya panglima Lin Tung.

“Hamba mengerti Yang Mulia. Hamba sering pergi ke sana untuk mencari kayu bakar” jawab Zhang Wen.

“Bagus jika begitu. Sekarang kau akan menjadi penunjuk jalan bagi pasukan. Jenderal Zhi Lu akan berada di depan dan kau akan bersamanya sampai kita kembali lagi kemari. Kau mengerti ini, Zhang Wen?” kata panglima Lin Tung.

“Hamba mengerti Yang Mulia Panglima Lin” kata Zhang Wen.

“Pengawal! Berikan kuda kepadanya! Ia akan menjadi penunjuk jalan bagi kita!” seru jenderal Zhi Lu dengan suaranya yang menggelegar sehingga membuat Zhang Wen melompat karena terkejut.

“Hahaha, Zhang Wen, kau harus membiasakan diri dengan suara guntur jenderal Zhi Lu. Julukannya Hei Lei Ciang Cin (Jenderal Guntur Hitam)” kata panglima Lin Tung tertawa melihat kekagetan Zhang Wen.

Seekor kuda diberikan kepada Zhang Wen dan ia dibantu naik ke atas kuda oleh para pengawal. Tampak sekali kecanggungan Zhang Wen dalam mengendalikan kuda karena tidak pernah mengendarainya. Jenderal Zhi Lu mendengus keras melihat hal ini.

“Kita bakal lambat jika seperti ini” keluh jenderal Zhi Lu.

“Jangan khawatir jenderal Zhi. Pelan-pelan saja dan waspada. Lagipula seluruh penduduk desa Guo An sudah melarikan diri. Kita beruntung masih menemukan seorang penduduk asli untuk menjadi penunjuk jalan bagi kita” kata panglima Lin Tung.

Pasukan kemudian diberangkatkan dengan jenderal Zhi Lu bersama Zhang Wen berada paling depan. Di belakang mereka adalah pasukan jenderal Fu Qin dan Wang Wu Lin. Terakhir adalah pasukan jenderal Zhuo Ning. Mereka semua berbaris rapi dengan panglima Lin Tung berada di tengah pasukan. Derap langkah para prajurit dan kuda-kuda seakan mengguncangkan bumi.

Sebelum tengah hari mereka sudah tiba di kaki bukit Ti Suang. Jenderal Wang Wu Lin mengirimkan seorang utusan berkuda pertama untuk kembali ke benteng Liao Dong memberitahukan keadaan pasukan. Panglima Lin Tung berkuda ke depan untuk melihat keadaan bukit Ti Suang. Ia ditemani beberapa pengawal dan jenderal Zhi Lu serta Zhang Wen.

“Bukit Ti Suang ini tidak terlalu tinggi, tapi hutannya rapat dan jalannya sempit. Pasukan berkuda dan para prajurit hanya bisa berbaris berlima saja. Perintahkan seluruh pasukan untuk berhati-hati terhadap kemungkinan ancaman sergapan pemberontak” kata panglima Lin Tung setelah menilai keadaan.

“Siap panglima!” seru jenderal Zhi Lu.

“Zhang Wen, bagaimana dengan jalan di bukit ini?” tanya panglima Lin Tung.

“Yang Mulia, jalan ini akan semakin sempit saat menanjak. Setelah itu di belakang bukit ada sebuah lembah kecil dengan hutan yang lebat dan sebuah sungai kecil” jawab Zhang Wen.

“Baiklah. Semua berangkat. Nanti kita bisa beristirahat di sungai kecil yang dimaksudkan” kata panglima Lin Tung memberikan perintah.

Pasukan kembali maju, kali ini semakin pelan karena sempitnya jalan dan medan yang semakin menanjak. Hutan di kiri kanan mereka semakin lebat sehingga cahaya matahari mulai terhalang. Suasana menjadi remang-remang bagaikan sore hari.

“Panglima Lin, aku merasakan firasat buruk” kata jenderal Wang Wu Lin.

“Tenanglah, jenderal Wang. Kita hanya akan mengitari bukit Ti Suang untuk hari ini. Semoga ada tanda-tanda pasukan jenderal Guan yang bisa kita temukan. Kita tidak akan bermalam di tempat ini” kata panglima Lin Tung mencoba menenangkan.

“Semoga saja kita bisa menemukan tanda-tanda pasukan jenderal Guan” kata jenderal Wang masih cemas.

Para prajurit diperintahkan untuk melaporkan jika menemukan sesuatu, apapun itu yang mungkin berhubungan dengan pasukan jenderal Guan. Tapi hingga tengah hari dan utusan berkuda kedua dikirimkan oleh jenderal Wang Wu Lin, tidak satupun prajurit yang melapor menemukan sesuatu. Tidak ada tombak, baju besi, pedang, panah, anak panah bahkan baju pasukan jenderal Guan yang mereka temukan. Mereka benar-benar seperti lenyap ditelan bumi.

Pasukan terdepan di bawah jenderal Zhi Lu dan Zhang Wen kemudian mencapai lembah di belakang bukit Ti Suang pada tengah hari. Sisa pasukan menyusul kemudian. Mereka semua kemudian makan siang dan minum dari air sungai kecil yang mengalir jernih membelah hutan itu. Waktu istirahat itu dimanfaatkan panglima Lin Tung dan keempat jenderal membicarakan tindakan mereka selanjutnya.

“Nah, sekarang kita sudah melewati bukit Ti Suang dan tidak menemukan apapun. Bahkan pasukan pemberontak juga tidak terlihat. Menurutku kita kembali saja ke desa Guo An dan kembali besok dengan pasukan-pasukan kecil untuk pencarian. Bagaimana pendapat kalian?” tanya panglima Lin Tung kepada keempat jenderalnya.

“Saya setuju. Kita tidak bisa bermalam di sini” kata jenderal Wang Wu Lin.

“Benar” kata jenderal Fu Qin dan jenderal Zhuo Ning setuju.

“Aku sebenarnya ingin sekali maju. Tapi kupikir besok juga tidak ada ruginya” kata jenderal Zhi Lu.

“Baiklah kalau begitu. Siapkan pasukan untuk kembali ke desa Guo An. Jenderal Wang, jangan lupa kirimkan utusan ketiga kita ke benteng Liao Dong” kata panglima Lin Tung menutup pembicaraan.

Segera setelah itu semua pasukan disiapkan untuk kembali ke desa Guo An.

Matahari mulai condong ke barat dan pemandangan dalam hutan semakin remang-remang. Jenderal Zhi Lu dan Zhang Wen kembali memimpin di depan. Segera saja mereka tiba di kaki bukit Ti Suang ketika tiba-tiba terdengar derap langkah kuda yang dipacu kencang. Jenderal Zhi Lu segera mengangkat tangan memberi aba-aba.

“Semua bersiap! Ada orang di depan! Pasukan panah siap!” teriak jenderal Zhi Lu dengan suaranya yang menggelegar.

Zhang Wen yang ketakutan segera menyingkir ke samping dan bersembunyi di antara pepohonan. Pasukan panah segera bergerak maju ke depan dan bersiap dengan busur terentang.

“Tahan! Tunggu aba-abaku!” seru jenderal Zhi Lu.

Dari jalan setapak di hadapan mereka, seorang penunggang kuda tengah memacu kudanya dengan kencang sekali. Ia tampak begitu kaget ketika melihat puluhan prajurit panah siap di depannya dengan busur terentang.

“Tahan! Aku prajurit utusan jenderal Wang Wu Lin!” teriak sang penunggang kuda itu.

“Semuanya tahan!” teriak jenderal Zhi Lu sambil mengangkat tombak cagaknya.

Prajurit itu segera membedal kudanya dan mendekat lalu melompat turun. Ia tampak bingung dan heran sama seperti jenderal Zhi Lu.

“Prajurit, kau utusan jenderal Wang, bukankah seharusnya kau menuju ke benteng Liao Dong?” tanya jenderal Zhi Lu.

“Benar, jenderal Zhi. Hamba memang memacu kuda ke benteng Liao Dong” jawab prajurit itu.

“Kau jangan main-main! Sudah jelas kau kembali kepada kami, bagaimana mungkin kau mengatakan kau menuju ke arah benteng Liao Dong?” bentak jenderal Zhi Lu tidak sabaran.

Saat itu panglima Lin Tung datang disertai beberapa pengawalnya untuk melihat mengapa pasukan depan terhenti. Ia terkejut melihat utusan yang dikirimkan jenderal Wang Wu Lin kembali.

“Prajurit! Bukankah kau tadi yang diutus jenderal Wang kembali ke benteng Liao Dong? Mengapa engkau kembali kemari?!” tanya panglima Lin Tung.

“Aku juga barusan bertanya hal yang sama, panglima Lin. Tapi kata prajurit ini ia sedang memacu kudanya ke arah benteng Liao Dong dan bertemu kita” kata jenderal Zhi Lu.

“Benarkah itu prajurit?!”

“Benar, panglima Lin. Hamba tidak berani berbohong. Hamba tadi segera memacu kuda melewati bukit Ti Suang ketika bertemu kembali dengan pasukan jenderal Zhi Lu” kata prajurit itu mulai ketakutan.

“Panggil Zhang Wen kemari!” perintah panglima Lin Tung.

Tali kekang kuda Zhang Wen dipegang oleh seorang pengawal untuk dihadapkan kepada panglima Lin Tung. Tampak sekali Zhang Wen gemetaran. Wajahnya pucat dan matanya kelihatan hampir menangis.

“Zhang Wen, apakah bukit Ti Suang ini ada jalan memutar?” tanya panglima Lin Tung.

“Ti.. tidak ada Yang Mulia. Jalan satu-satunya hanya jalan setapak ini” jawab Zhang Wen tergagap.

“Prajurit, kau yakin tadi tidak mengambil jalan memutar?” tanya panglima Lin Tung kepada prajurit utusan jenderal Wang.

“Hamba yakin sekali Yang Mulia. Hanya ada satu jalan setapak” jawab prajurit itu.

Panglima Lin Tung menghela napas panjang.

“Kalau begitu, tampaknya kita semua terjebak di sini”

**

No comments:

Post a Comment