Sunday, August 9, 2009

Tien Xia Wu Jing - Bab 1 Nyanyian Pengemis Buta (bag 2)

“Baiklah karena tuan muda sudah begitu baik menolong diriku, namaku Cen Li” kata pengemis buta itu.

“Paman, namaku Han Li De” kata Han Li De.

Tiba-tiba saja pengemis buta bernama Cen Li itu seperti tersengat petir. Ku-cin miliknya dilemparkan ke samping dan ia melompat ke belakang dengan ketakutan sekali. Han Li De menjadi amat keheranan atas perubahan ini. Apakah namanya begitu menakutkan orang ?

“Kau dari wisma keluarga Han ?” tanya Cen Li gemetaran.

“Benar, paman apa yang terjadi ?!” tanya Han Li De kebingungan.

“Jangan bunuh aku ! Jangan bunuh aku ! Aku tidak mengkhianati kalian ! Jangan bunuh aku !” teriak Cen Li histeris.

“Paman Cen, tenanglah” kata Han Li De.

“Jangan bunuh aku !” teriak Cen Li sambil berlari tunggang langgang keluar pintu.

Pintu gubuk reyot langsung roboh diterjang Cen Li yang ketakutan itu. Ia masih terus berlari dengan ketakutan meskipun Han Li De sudah berteriak-teriak menenangkannya. Bahkan rasa takut yang menjalar di dalam dirinya begitu kuat sehingga membuat ia sanggup berlari cepat meninggalkan Han Li De meskipun sempat beberapa kali terjatuh. Cen Li si pengemis buta itu akhirnya hilang ditelan keremangan malam di tengah lapangan di samping rumahnya itu. Sia-sia saja Han Li De berteriak memanggilnya. Akhirnya Han Li De memutuskan untuk kembali ke rumahnya. Hari sudah sangat larut dan pastilah ibunya sudah menunggunya dengan cemas di rumah.

Wisma keluarga Han terletak hanya beberapa puluh tombak dari tembok istana. Puluhan prajurit jaga yang bersiap di depan pintu wisma segera memberi salam hormat ketika melihat Han Li De berjalan kembali ke rumahnya. Ia segera disambut oleh seorang pelayan tua yang tergopoh-gopoh melihat kedatangannya.

“Aduh, tuan muda, anda benar-benar dalam masalah besar” kata pelayan itu.

“Ada apa paman Chung ?” tanya Han Li De.

“Nyonya tadi menunggu kepulangan anda yang terlambat dan mengirim pelayan untuk menanyakan ke wisma keluarga He. Para pelayan di sana menjawab anda keluar dengan tuan muda He ke Paviliun Awan Merah. Nyonya amat murka mendengar jawaban itu, apalagi tuan muda tidak pulang-pulang” jawab pelayan tua bernama paman Chung itu.

“Jadi sekarang Ibu ada di mana ?” tanya Han Li De.

“Nyonya sekarang ada di ruang tengah” jawab paman Chung.

“Terima kasih paman Chung. Beristirahatlah” kata Han Li De.

“Tuan muda, jangan membuat nyonya marah. Lebih baik mengaku bersalah saja” kata paman Chung memberi saran.

“Aku tahu apa yang harus kulakukan” kata Han Li De.

Han Li De berjalan sepanjang lorong menuju ruang tengah dengan perasaan tidak karuan. Ibunya, nyonya utama keluarga Han terkenal amat keras dan disiplin dalam mendidik dirinya, satu-satunya penerus keluarga Han yang tersisa. Sekarang ia melakukan hal konyol seperti ini, pastilah ibunya akan marah sekali. Ketika ia sudah dekat dengan ruang tengah, ia dapat melihat ruang tengah itu masih terang benderang menandakan ibunya belum tidur. Han Li De ragu-ragu hendak mengetuk pintu ruang tengah itu, tapi ibunya sudah terlebih dulu mendengar langkah kakinya mendekat.

“Masuk !!” kata nyonya Han dengan tegas.

Han Li De membuka pintu ruang tengah dan segera memberi salam kepada ibunya. Namun wajah ibunya yang mengeras sama sekali tidak mengendur oleh salam darinya. Bahkan alis ibunya semakin naik ketika melihat pakaiannya yang kotor. Ibunya semakin marah lagi ketika mencium bau wangi arak dan wewangian wanita dari tubuhnya. Bibir nyonya Han sampai gemetaran menahan gejolak hatinya.

“Berlutut !!” bentak nyonya Han dengan marah sekali sehingga Han Li De hanya bisa menuruti kata ibunya itu.

“Dasar anak tidak tahu malu ! Apa yang selama ini kuajarkan kepadamu ?!” tanya nyonya Han dengan geram sambil membawa tongkat rotan di tangannya.

“Setia berbakti kepada negara dan mengharumkan nama keluarga” jawab Han Li De.

“Plakkk !!”

Sebuah sabetan rotan mampir di pundak Han Li De dengan keras sekali sampai membuatnya terjingkat karena kesakitan.

“Lalu apa yang kau lakukan malam ini di Paviliun Awan Merah ?” tanya nyonya Han lagi.

“Ibu, aku tidak melaku…..”

“Plakkkk !”

Sekali lagi rotan mampir di pundak Han Li De.

“Jawab dengan sejujurnya ! De-er, kau sedang berlutut di depan pusara ayahmu, kakekmu dan leluhur keluarga Han ! Jangan sampai kau berbohong di depan mereka !” kata nyonya Han sambil menunjuk ke deretan papan nama keluarga Han yang telah meninggal.

“Ibu, aku sungguh tidak melakukan apa-apa” kata Han Li De.

“Lalu mengapa kau bau arak dan wewangian wanita seperti ini ?!” hardik nyonya Han.

“Ibu, He Shou Jin dan teman-temannya memaksaku minum bersama para wanita penghibur tapi aku menolak. Kemudian aku melihat seorang pengemis buta yang sedang dianiaya, kemudian aku menolongnya. Tapi aku bukan lawan orang itu, untunglah tadi ada seorang pendekar yang menolongku. Kemudian aku mengantarkan pengemis buta itu kembali ke rumahnya. Itulah sebabnya aku pulang larut malam seperti ini. Ibu percayalah kepadaku” kata Han Li De menjelaskan.

“De-er, kau paling tahu ibu tidak suka pembohong. Mengapa kau mengarang cerita tidak masuk akal seperti itu ?” tanya nyonya Han dengan marah.

“Ibu, aku tidak berbohong, kalau tidak percaya ibu bisa tanyakan kepada pengurus Paviliun Awan Merah” kata Han Li De membela diri.

“Cukup ! Ibu tidak akan pernah pergi ke tempat seperti itu, kau tahu itu !” kata nyonya Han semakin marah.

“Ibu harus percaya kepadaku” kata Han Li De.

“De-er, kau adalah satu-satunya penerus keluarga Han. Di pundakmu terpikul beban tanggung jawab untuk mengharumkan nama keluarga. Kakek buyutmu sampai ayahmu semuanya adalah perwira yang setia kepada dinasti Tang. Sekarang dinasti Tang sedang kalut, kau malah enak-enakan mabuk dan main wanita. Jika aku tidak mengajarmu dengan benar, bagaimana aku bisa bertemu kakek dan ayahmu nanti di alam baka ?!” bentak nyonya Han.

Han Li De tidak menjawab karena ia tahu apapun yang ia katakana sekarang tidak akan didengarkan oleh ibunya. Ia memilih berdiam diri dan menunggu besok hari ketika ibunya sudah lebih tenang untuk berbicara dan terutama menanyakan tentang pengemis buta dan lagunya itu.

“De-er, sekarang kau pikirkan semua kesalahanmu dengan berlutut di depan pusara para leluhur. Besok pagi aku akan bicara denganmu lagi” kata nyonya Han sambil berlalu dengan wajah sedih.

Han Li De hanya bisa terdiam sementara ibunya berlalu dan menutup pintu. Ia akui ia telah melakukan beberapa kesalahan hari ini termasuk di antaranya menuruti ajakan He Shou Jin ke Paviliun Awan Merah. Tapi jika saja tidak bertemu pengemis buta itu, maka pastilah ia tidak akan pulang terlambat. Han Li De masih memikirkan nyanyian pengemis buta itu ketika pintu ruang tengah dibuka perlahan-lahan sekali oleh seseorang.

“Hong Tou (Kacang Merah), masuklah. Ibu baru saja pergi” kata Han Li De menyapa seorang gadis remaja yang masuk sambil berjingkat-jingkat.

“Kakak De, jangan keras-keras. Nanti kalau nyonya Han mendengarnya, aku bisa mendapat hukuman” kata gadis remaja yang dipanggil Hong Tou itu.

“Ibu pasti sudah di kamarnya. Ia tidak akan mendengar” kata Han Li De.

“Kakak De, engkau dihukum lagi ya oleh nyonya ?” tanya Hong Tou yang dibalas anggukan lemah oleh Han Li De.

“Kakak De, jangan sedih. Nyonya melakukan ini semua untuk kebaikan kakak De” kata Hong Tou menghibur.

“Aku tahu, aku tidak marah kepada ibu. Aku memang bersalah. Tapi aku lapar sekali karena belum makan” kata Han Li De.

“Hehe, kakak De jangan khawatir. Aku sudah membungkus sisa makan malam yang tidak habis tadi. Nyonya mengkhawatirkan kakak De sehingga makan sedikit sekali tadi. Sisanya kan sayang dibuang jadi kubungkus saja. Ternyata kakak De memang belum makan. Nah, makanlah” kata Hong Tou sambil mengeluarkan bungkusan dari balik bajunya.

“Wah, banyak juga makanan yang kau bawa” kata Han Li De kegirangan.

“Ada man-tau (bakpao tanpa isi), mie dan sedikit ayam panggang” kata Hong Tou.

“Wah, terima kasih. Aku sudah lapar sekali” kata Han Li De.

“Makanlah kakak De. Setelah kakak selesai makan aku akan kembali ke kamarku” kata Hong Tou.

Han Li De tidak menjawab karena saat itu mulutnya sedang penuh. Semalaman ini banyak kejadian yang dialaminya sehingga ia lupa kalau perutnya belum diisi makanan. Untunglah Hong Tou berbaik hati menyimpan makanan untuknya sehingga ia tidak jadi kelaparan. Hong Tou memandang wajah Han Li De yang sedang makan lahap sekali itu dengan pandangan geli.

Hong Tou adalah pelayan di wisma keluarga Han. Ia seorang yatim piatu dan orang tuanya tidak pernah diketahui. Ketika masih bayi, ia digeletakkan begitu saja di pintu belakang wisma keluarga Han. Nyonya tua Han yang ketika itu masih hidup menganggapnya sebagai berkat dari langit sebagai ganti ketiga putrinya yang meninggal ketika masih muda. Bayi itu akhirnya dipelihara di lingkungan keluarga Han. Karena kesukaaannya ketika kecil adalah bubur kacang merah, maka akhirnya ia dinamakan Hong Tou oleh nyonya tua Han. Nama itu juga cocok dengan wajahnya yang bulat dan merah dengan rambut ikal yang tebal.

Ketika nyonya tua Han meninggal beberapa tahun yang lalu, Hong Tou tetap tinggal di wisma keluarga Han. Meskipun statusnya adalah pelayan tapi ia sudah dianggap seperti keluarga sendiri oleh nyonya Han dan Han Li De. Apalagi Han Li De adalah anak tunggal, maka kehadiran Hong Tou boleh dibilang menjadi adik bagi Han Li De. Kedekatan mereka berdua sejak kecil sudah lebih menyerupai kedekatan antara kakak dan adik daripada antara tuan dengan pelayannya. Itulah sebabnya Hong Tou selalu memanggil Han Li De dengan sebutan kakak De dan bukan tuan muda Han.

“Aduh, aku kenyang sekali. Terima kasih Hong Tou. Tanpamu aku pasti sudah akan kelaparan semalaman” kata Han Li De sambil mengelus perutnya.

“Kakak De, aku pergi dulu ya. Nanti jika nyonya tahu aku membawakan makanan untukmu, aku bisa mendapat hukuman” kata Hong Tou sambil celingukan ketakutan.

“Baiklah, hati-hati ya Hong Tou” kata Han Li De yang dijawab anggukan oleh Hong Tou.

Pintu ruang tengah ditutup dengan hati-hati sekali oleh Hong Tou. Bahkan ia pun dengan hati-hati sekali berjalan berjingkat-jingkat kembali ke kamarnya. Padahal ia tidak tahu, di dalam kegelapan sebuah bayangan tengah mengawasinya sambil tersenyum lega. Tampaknya nyonya Han sudah mengamati sejak tadi kehadiran Hong Tou tanpa diketahui olehnya.

Sementara itu Han Li De yang masih berlutut di ruangan tengah menghadap ke papan nama pusara keluarga besar Han dengan penuh perhatian. Nyanyian pengemis buta yang didengarnya tadi seolah kembali mengusik kenangan masa kecilnya. Han Li De kemudian berdiri dan mendekat kepada meja sembahyang leluhur untuk dapat membaca lebih jelas nama-nama yang tertera di papan-papan nama itu. Ia membaca satu per satu nama-nama yang ada di pusara itu, nama-nama para leluhurnya.

“Han Wen Ping, generasi pertama. Han Sing, Han Sien generasi kedua. Han Kuo Jia, Han Kuo Ming, Han Kuo Li generasi ketiga. Han Cia Pao dan Han Cia Sing generasi keempat”

No comments:

Post a Comment