Saturday, August 1, 2009

Tien Xia Wu Jing - Bab 1 Nyanyian Pengemis Buta (bag 1)

Pada tahun kedua pemerintahan Chui Gong yang penuh dengan kekerasan dan tangan besi dari pemerintahan kekaisaran Tang yang dipimpin oleh Permaisuri Wu semakin menjadi-jadi. Munculnya batu suci di sungai Luo membuat kalangan bangsawan semakin resah karena memperkirakan kekaisaran Tang akan jatuh ke tangan pihak lain. Rakyat yang masih belum pulih benar dari rasa tercekam akibat pemberontakan Shi Jing Ye, kini harus bersiap menerima perang saudara baru akibat ketidakpuasan keluarga bangsawan Li.

Permaisuri Wu yang berpikiran panjang dan cerdik segera memerintahkan penjagaan kotaraja diperketat. Pasukan tentara penjaga diperbesar jumlahnya dari lima puluh ribu prajurit menjadi hampir sembilan puluh ribu prajurit banyaknya. Jenderal-jenderal yang setia dipanggil ke istana untuk mendapatkan pengarahan langsung dari permaisuri. Kotaraja Chang An yang biasanya ramai oleh para pedagang kini menjadi semakin penuh sesak oleh para prajurit yang jumlahnya bertambah hampir dua kali lipat. Meski demikian, serombongan remaja berpakaian mewah yang sedang menyeberang jalan tampaknya tidak mempedulikan hal ini. Mereka tetap tertawa-tawa dan riang gembira.

“Li De, kau tidak perlu takut. Kami akan membawamu bersenang-senang” kata salah seorang di antara mereka yang wajahnya tampak memerah karena mabuk arak.

“Shuo Jin, ibuku mengatakan aku harus segera pulang setelah bertemu ayahmu. Sekarang hari sudah sore, aku harus pamit” kata pemuda yang dipanggil Li De itu dengan kebingungan.

“Eit, eit !! Jangan tidak setia kawan seperti itu, temani kami sebentar saja” seru tiga teman yang lain sambil menggamit dan merangkul Li De.

“Eh, benar Li De, hanya sebentar saja. Setelah minum-minum sebentar kami juga pasti akan pulang” kata Shuo Jin meyakinkan.

“Baiklah kalau begitu. Sebentar saja” kata Li De akhirnya terpaksa menyetujui karena tidak bisa melepaskan diri dari rangkulan teman-temannya.

“Hahaha, asyik. Hari ini Li De bersama kita. Mari minum sepuasnya ! Aku sudah tidak sabar hendak bertemu dengan Jiu Lian. Aku ingin menciumnya sepuas hati malam ini” kata Shuo Jin sambil tertawa kegirangan.

Kelima pemuda itu terus berjalan ke arah barat kotaraja sampai akhirnya tiba di sebuah rumah besar bertingkat dua yang ramai sekali. Puluhan lampion berwarna merah terang menyala di sepanjang terasnya. Sebuah papan nama besar bertulisan Paviliun Awan Merah menggantung di depan pintu utamanya. Enam gadis berpakaian sutra tipis dan berwajah genit tampak sedang menyapa tamu-tamu yang masuk. Mereka semua tertawa-tawa dengan penuh arti ketika beberapa di antara para tamu itu merangkul dan membisikkan sesuatu di telinga mereka. Li De yang melihat keadaan seperti ini langsung merasa tidak enak.

“Shuo Jin, kau hendak ke mana ? Kau hendak ke Paviliun Awan Merah ?” tanya Li De setengah tidak percaya.

“Kalau tidak kemari lalu hendak ke mana lagi ?” tanya Shuo Jin dengan heran.

“Bukankah Paviliun Awan Merah ini adalah tempat ……” Li De tidak berani meneruskan kalimatnya.

“Ah, kau ini bagaimana ?! Kita kan sudah besar, sudah hampir enam belas tahun. Li De, kau bahkan sudah berulang tahun dua bulan yang lalu kan ?! Jadi untuk apa kau takut kemari ?” tanya Shuo Jin yang langsung disambut kata-kata setuju dari ketiga temannya yang lain.

“Tapi….”

“Ah, sudahlah kau ini cerewet sekali. Bukankah ada pepatah yang mengatakan laki-laki gagah memang menyukai wanita cantik. Kau masuklah dulu dan lihat-lihatlah. Jangan cengeng begitu” kata Shuo Jin tidak senang.

Li De digandeng tiga teman Shuo Jin yang lain berjalan terseret-seret masuk ke dalam Paviliun Awan Merah. Tampaknya Shuo Jin adalah seorang pelanggan tetap di sana karena semua gadis-gadis yang ada di depan pintu langsung menyapanya dengan genit.

“Aduh, He Sao-ye (tuan muda He) mengapa sudah lama tidak kemari ? Kami semua di sini sudah merindukanmu” kata seorang wanita yang berbaju hijau.

“Hahaha, Siao Jing engkau memang bermulut manis. Ini aku bawakan gelang untukmu” kata Shuo Jin sambil mengeluarkan sebuah gelang emas dari saku bajunya.

“Aduh, He Sao-ye anda baik sekali. Aku benar-benar rindu padamu” kata wanita bernama Siao Jing itu sambil menghadiahi sebuah kecupan di pipi Shuo Jing.

Kelima gadis yang lain langsung mengerubuti He Shuo Jin ikut minta diberi perhiasan. He Shuo Jin yang mabuk kepayang itu langsung mengeluarkan perhiasan emas dari saku bajunya dan mendapatkan hadiah ciuman dari para wanita itu bergantian. Tiga temannya yang lain tertawa-tawa senang tapi Li De hanya terdiam saja menyaksikan semua kejadian itu. Ia sudah ingin sekali pulang ke rumahnya. Ibunya pasti sudah mengkhawatirkan dirinya karena hari mulai gelap.

“Ayo, Li De masuk ! Jangan berdiri saja di depan pintu !” teriak Shuo Jin sambil menggandeng dua wanita masuk ke dalam.

Li De ragu-ragu tapi teman-temannya yang lain langsung merangkulnya masuk ke dalam. Tiga wanita yang berdiri di depan pintu juga langsung masuk mengikuti mereka. Tempat mereka langsung digantikan wanita-wanita lain berjaga menyambut tamu di depan pintu. Tampaknya Paviliun Awan Merah tidak pernah sepi dari para tamu lelaki hidung belang yang menyukai kesenangan duniawi sesaat.

Suasana di dalam Paviliun Awan Merah jauh lebih ramai lagi. Ratusan orang pria wanita semuanya mabuk dan tertawa-tawa sehingga suasana riuh rendah. Ada yang bermain kejar-kejaran, ada juga yang duduk sambil makan dan minum, ada juga yang menari di tengah ruangan. Di lantai dua tampak beberapa gadis muda berpakaian sutra halus melemparkan bunga-bunga menyambut tamu-tamu yang masuk. Suasananya seperti sedang musim gugur ketika bunga-bunga berjatuhan dari langit. Benar-benar sebuah pelayanan yang luar biasa sehingga tidak heran jika Paviliun Awan Merah selalu ramai.

“Aduh, He Sao-ye, anda lama sekali tidak kemari. Mengapa sekarang baru datang ?!” sapa seorang wanita setengah baya yang berdandan menor sekali menyapa He Shuo Jin.

“Haha, Wu Niang, kau terlihat semakin muda saja. Hari ini aku membawa seorang teman baru. Kau harus melayaninya baik-baik ya” kata He Shuo Jin sambil mengedipkan matanya kepada wanita setengah baya yang bernama Wu Niang itu.

“Aduh, tentu saja He Sao-ye. Apakah ini teman baru anda ?!” tanya Wu Niang sambil memandang Li De mulai dari ujung kaki hingga ujung kepala.

“Be-benar, nama saya Han Li De” kata Li De sambil menjura.

“Aduh, seorang pemuda yang tampan ! Pasti ini kali pertama Han Sao-ye datang kemari ?!” kata Wu Niang sambil menghampiri Han Li De dengan genit sekali.

“Be-benar Bibi” jawab Han Li De gugup menghadapi bibi tua yang kelihatan genit sekali itu.

“Aduh, mengapa kau panggil aku bibi ? Apakah aku sudah setua itu ?! Panggil saja aku Wu Niang” kata Wu Niang tidak senang dipanggil bibi.

“Ma-maaf bi….eh maksudku Wu Niang” kata Han Li De gelagapan.

“Wu Niang, kau harus memperkenalkan gadis-gadismu yang baru kepada temanku ini. Tamu baru harus dilayani oleh gadis baru, betul tidak ?!” kata He Shuo Jin sambil menyikut lengan Wu Niang dengan penuh arti.

“Aduh, tentu saja He Sao-ye. Aku pasti akan memberikan pelayanan yang terbaik untuknya. Siao Mei, Siao Lan kalian cepat kemari !” panggil Wu Niang kepada dua gadis yang sedang menaburkan bunga di lantai dua.

Dua gadis yang dipanggil Siao Mei dan Siao Lan itu langsung menuruni tangga sambil tertawa cekikikan. Han Li De sekarang sudah berkeringat dingin karena amat gugup sebenarnya ingin lari keluar tapi He Shuo Jin langsung merangkulnya dengan erat.

“Li De, jangan bilang aku tidak pernah menjagamu dengan baik ya. Hari ini semua yang kauhabiskan akan masuk ke dalam tagihanku. Wu Niang, ingat itu ya ! Apapun yang dipakai temanku malam ini, semuanya masuk ke tagihanku !” seru He Shuo Jin yang sudah mabuk itu dengan gembira.

“Aduh, He Sao-ye yang berkata aku pasti mengingatnya. Nah, Siao Mei, Siao Lan kalian layani Han Sao-ye baik-baik malam ini” kata Wu Niang sambil mengedipkan matanya.

“Wu Niang tidak perlu khawatir. Han Sao-ye begitu tampan dan gagah, kami pasti akan melayaninya dengan baik” jawab Siao Mei dan Siao Lan sambil cekikikan.

“Nah, sekarang sudah beres urusanmu. Sekarang giliranku. Wu Niang, di mana pujaan hatiku Jiu Lian ?” tanya He Shuo Jin.

“Aduh, untuk He Sao-ye semua pasti akan tersedia. Jiu Lian ! Jiu Lian !” teriak Wu Niang.

Sementara itu Han Li De sudah ditarik oleh Siao Mei dan Siao Lan naik ke lantai dua di mana kamar-kamar berada. Han Li De benar-benar gugup dan tidak tahu harus berbuat apa menghadapi Siao Mei dan Siao Lan yang begitu berani itu. Pakaian mereka yang terbuat dari sutra tipis sengaja dilonggarkan sehingga terlihat bagian dalam pakaian mereka. Keduanya juga memakai minyak wangi dalam jumlah amat banyak sehingga baunya amat menyengat dan membuat kepala Han Li De pusing.

“Han Sao-ye tidak perlu khawatir. Malam ini aku dan Siao Lan akan melayani Han Sao-ye dengan baik” kata Siao Mei yang melihat kegugupan Han Li De.

“A-aku….sebenarnya temanku tadi salah paham. Aku hanya kemari untuk menemaninya minum-minum saja” kata Han Li De.

“Semua tamu yang kemari tentu saja minum-minum. Kami juga bisa menemani Han Sao-ye minum-minum” kata Siao Lan.

“Nah, kita sudah tiba di kamar” kata Siao Mei.

“Aku……”

Belum sempat Han Li De berkata apa-apa, Siao Mei dan Siao Lan sudah menariknya masuk dan mengunci pintu. Ruangan tempat mereka berada tidak begitu besar hanya ada satu tempat tidur yang cukup lebar dan meja bundar di tengah ruangan. Tapi yang membuat ruangan itu istimewa adalah warnanya yang hampir semuanya berwarna merah. Tutup meja terbuat dari kain sutra merah demikian pula dengan tirai ranjangnya. Bahkan jendelanya juga dicat dengan warna merah menyala pula !

“Han Sao-ye mari kita minum-minum dulu” kata Siao Mei sambil menyeret Han Li De duduk di meja sementara Siao Lan menutup daun jendela.

Tanpa menunggu persetujuan Han Li De, Siao Mei langsung menuangkan arak ke dalam cangkir. Ia dengan sigap sekali mengisi dua cangkir arak dan langsung menyuguhkannya kepada Han Li De.

“Han Sao-ye, aku bersulang untukmu” kata Siao Mei sambil menenggak isi cangkir hingga tandas.

“Han Sao-ye mengapa diam saja ?! Siao Mei sudah minum, mengapa anda tidak minum ?!” tanya Siao Lan.

“Aku….”

“Ayo diminum” kata Siao Mei sambil mencekoki Han Li De agar minum.

Rasa arak yang keras langsung mengalir deras dalam kerongkongan Han Li De. Selama ini bukannya Han Li De tidak pernah minum arak tapi arak yang disuguhkan di Paviliun Awan Merah memang benar-benar arak yang keras. Tenggorokan dan lambung Han Li De terasa terbakar oleh kuatnya rasa arak yang keras.

“Hebat !! Ayo kita minum lagi” kata Siao Mei dan Siao Lan kegirangan.

“Aku tidak bisa” kata Han Li De berusaha membantah.

“Ayolah Han Sao-ye yang gagah. Minum secangkir lagi” kata Siao Mei dan Siao Lan merayu.

“Aku sungguh tidak bisa !” kata Han Li De.

“Ayo minum” kata Siao Mei dan Siao Lan seolah tidak peduli dengan bantahan Han Li De.

“Aku tidak mau !!” sergah Han Li De sambil membanting cangkirnya ke lantai hingga pecah.

“Tidak mau ya sudah ! Kenapa harus marah-marah ?!” kata Siao Mei dan Siao Lan langsung bangkit berdiri.

“Kalian berdua keluarlah. Aku tidak perlu kalian temani” kata Han Li De sambil membuang muka.

“Huh ! Dasar aneh !” kata Siao Mei.

“Punya uang sedikit saja sudah bertingkah. Siao Mei, ayo kita pergi” kata Siao Lan sambil membuka pintu dan berlalu.

Han Li De bernapas lega selepas kepergian kedua gadis itu. Ia menutup pintu kamar sehingga suara keramaian di luar sedikit berkurang. Kepalanya terasa berdenyut-denyut karena kerasnya arak yang baru ia minum. Han Li De berjalan ke arah jendela dan membukanya untuk mencari hawa segar. Ternyata jendela kamarnya mengarah ke arah taman belakang yang luas. Udara segar yang masuk segera menggantikan bau arak dan wangi-wangian yang memabukkan. Han Li De merasakan dirinya menjadi lebih segar sekarang.

Taman belakang yang luas itu juga dipenuhi beberapa tamu yang duduk di meja meskipun tidak seramai di ruangan tengah tadi. Beberapa kursi tampak kosong dan suasananya juga lebih tenang dibandingkan di dalam. Seorang laki-laki tua berpakaian sederhana tampak duduk di sebuah kursi kecil di tengah halaman sambil menyanyikan sebuah lagu. Para pengunjung tampaknya tidak menghiraukan nyanyian laki-laki tua itu karena sedang asyik bermesraan atau mabuk arak. Tapi kata-kata yang dinyanyikan laki-laki tua itu dengan penuh perasaan membuat hati Han Li De tersentuh. Apalagi Han Li De merasa seperti pernah mendengar cerita yang dinyanyikan laki-laki tua itu.

“………. Ribuan li dari rumah

Han muda kembali dengan hati penuh nestapa

Menatap puing-puing kehancuran keluarga

Bertekad menegakkan kebenaran

Melawan iblis neraka dan manusia serakah

Han muda tanpa tandingan

Di Kolam Sembilan Naga menjadi yang terdepan …………”

“Diam !! Apakah kau tidak bisa menyanyikan lagu yang lain ?!” bentak seorang pria bertubuh tinggi besar dengan kasar sekali.

“Maaf, tapi ….”

“Nyanyikan lagu yang lain !” kata pria itu dengan kasar.

“Maaf, tuan tapi hanya lagu ini yang saya bisa” kata laki-laki tua itu ketakutan.

“Kurang ajar !!” kata pria itu dengan marah.

“Plakk !!”

Sebuah tamparan keras mendarat di pipi laki-laki tua itu hingga terpelanting dari tempat duduknya. Ia bergulingan di tanah dan meringkuk ketakutan ketika pria bertubuh besar itu mendatanginya dan menjambak rambutnya supaya berdiri. Wanita-wanita penghibur yang melihat hal ini langsung berlari ketakutan sambil menjerit meninggalkan halaman belakang menuju ke ruang tengah.

“Hei pengemis buta ! Kau semalaman menyanyikan lagu Han muda, Han muda, kau pikir ini perkumpulan para pesilat ! Aku datang kemari untuk mencari hiburan !” bentak pria itu marah sekali.

“Maaf, ampun” kata laki-laki tua yang ternyata buta itu.

“Plakkk !!!”

Sebuah tamparan yang teramat keras kembali mengenai pipi laki-laki tua itu hingga terpelanting. Bibirnya pecah-pecah dan berdarah tapi si pria bertubuh besar masih kelihatan belum puas. Ia kembali menjambak rambut si pengemis buta itu dan memaksanya berdiri.

“Nah, sekarang kau nyanyikan lagu yang menghibur untuk Yun Su ini” katanya dengan nada mengancam.

“Aku tidak bisa, tuan ampuni aku” kata pengemis buta itu memelas sekali.

“Kau ini benar-benar cari mati ya !” kata pria bertubuh besar bernama Yun Su itu dengan marah sekali. Tangannya terangkat tinggi hendak memberikan pukulan mematikan kepada pengemis buta itu.

“Berhenti !!” teriak Han Li De ketika melihat nyawa pengemis buta itu berada di ujung tanduk.

Han Li De melompat keluar dari jendela kamar dan mendarat sigap di halaman belakang. Ia segera menjura kepada pria bernama Yun Su itu yang terlihat amat geram karena ada orang yang berani mencampuri urusannya.

“Kurang ajar ! Siapa kau bocah tengik ?!” bentak Yun Su.

“Maafkan kelancanganku. Aku bernama Han Li De” jawab Han Li De.

“Apa hubunganmu dengan pengemis tua ini ?!” tanya Yun Su.

“Aku tidak berhubungan apa-apa dengan bapak itu. Tapi melihat usianya yang sudah tua, aku harap tuan mau berbelas kasih melepaskannya” kata Han Li De.

“Huh !! Jika pengemis busuk ini bukan siapamu, minggirlah ! Kecuali kau sudah tidak sayang nyawamu lagi !” bentak Yun Su mengancam.

“Tuan, aku mohon sekali lagi lepaskan dia” kata Han Li De.

“Oh ?! Jadi kau menantangku sekarang ?! Baik jika begitu” kata Yun Su sambil melemparkan pengemis buta itu ke samping.

“Tuan, anda salah paham. Aku tidak menantang anda” kata Han Li De gugup karena Yun Su yang bertubuh tinggi besar itu sudah datang mendekatinya.

“Kau tidak menantangku tapi aku yang menantangmu sekarang !” teriak Yun Su dengan geram sambil maju dengan dua kepalan.

Han Li De melihat lawan menyerang, tidak mempunyai pilihan lain kecuali menghindar. Serangan kedua tinju Yun Su berhasil dihindarkan dengan mudah sehingga membuatnya semakin marah dan geram.

“Ah, kau ada sedikit kemampuan juga ternyata. Baik, hari ini aku temani kau main-main sampai puas” kata Yun Su.

Saat itu Wu Niang ditemani beberapa gadis penghibur lainnya berhamburan menuju halaman belakang. Wu Niang tampak terkejut melihat ada perkelahian dan berniat melerai.

“Aduh, Yun Sao-ye mengapa berkelahi ?! Jika ada hal yang kurang berkenan kan bisa mengatakannya kepada Wu Niang ini” kata Wu Niang berusaha menenangkan Yun Su. Namun sayang sekali Yun Su yang sudah terbakar amarah malah menghadiahkan sebuah tinju ringan yang telak bersarang di mata kiri Wu Niang.

“Bukkkk !”

Wu Niang terlempar ke belakang dan menghantam gadis-gadis penghibur lainnya sehingga jatuh semua. Mata kiri Wu Niang langsung biru lebam. Kepalanya terasa berkunang-kunang.

“Aduh, sakit sekali !” jerit Wu Niang kesakitan.

“Wu Niang, kau tidak apa-apa ?!” tanya salah seorang gadis penghibur sambil memapah Wu Niang berdiri.

“Cepat panggil Chen Jiang kemari ! Jangan sampai Paviliun Awan Merah ini kacau balau !” jerit Wu Niang kalap.

Sementara itu Yun Su sudah berpaling menghadapi Han Li De dengan kemarahan yang menyala-nyala. Ia berjalan mendekati Han Li De dengan langkah-langkah lebar dan kedua tinju terkepal. Han Li De benar-benar ciut nyalinya menghadapi lawan yang bertubuh jauh lebih tinggi dan lebih besar darinya itu sehingga ia mundur-mundur terus. Tanpa terasa ia sudah terjepit di antara tembok halaman dan Yun Su. Ia sudah tidak bisa mundur lagi.

“Nah, bocah busuk ! Kau hendak lari ke mana lagi ?!” tanya Yun Su.

Kedua tinju Yun Su dilontarkan dengan tenaga penuh ke arah dada Han Li De. Untunglah di saat terakhir Han Li De masih bisa melemparkan tubuhnya ke samping sehingga terhindar dari maut. Serangan lawan tampaknya tidak setengah-setengah karena tinju Yun Su langsung menghancurkan tembok dengan kekuatannya !

“Blarrr !!”

Suara tembok remuk disusul pasir berhamburan memenuhi udara. Han Li De bergulingan ke samping dan bersyukur bisa selamat dari serangan pertama ini. Tapi Yun Su tidak melepaskan buruannya begitu saja. Ia langsung maju menyerang lagi dengan hantaman tinjunya. Kali ini Han Li De terpaksa menghadang langsung serangan lawan karena tidak sempat menghindar lagi.

“Bukkk !!”

Han Li De terlempar tiga tombak ke belakang ketika menerima tinju Yun Su dengan telapak tangannya. Peredaran darahnya seperti terbalik dan telapak tangannya pecah-pecah. Sudah jelas tenaga dalam Han Li De masih beberapa tingkat di bawah Yun Su.

“Bocah busuk, terimalah ajalmu !!” teriak Yun Su sambil maju menyerang.

Han Li De yang sedang berusaha memulihkan napas dan peredaran darahnya tidak bisa lari atau menghindar lagi dari serangan lawan. Jika serangan Yun Su benar-benar mengenainya dengan telak maka bisa dipastikan ia akan terluka berat atau meninggal. Gadis-gadis penghibur yang menyaksikan hal ini menjerit ngeri dan menutupi muka mereka karena ketakutan. Tepat di saat yang genting itu sekelabat bayangan melompat ringan dan menghadang tinju Yun Su. Tinju bertemu tinju dengan kekuatan dahsyat membuat udara seakan meledak dan melemparkan semua yang hadir.

“Blarrr !!”

Yun Su terseret tiga langkah ke belakang sementara penghadangnya masih berdiri kokoh di atas kuda-kudanya. Tampaknya si penghadang masih berilmu lebih tinggi dari Yun Su. Padahal tubuhnya biasa-biasa saja dan tidak setinggi Yun Su. Ia memakai pakaian serba hitam dengan ikat pinggang emas. Rambutnya yang berombak diikat rapi denga sutra emas pula. Wajahnya yang tampan semakin berwibawa dengan kumis tipis di atas bibirnya.

“Kurang ajar ! Siapa kau cari mati berani mencampuri urusanku ?!” bentak Yun Su marah sekali.

“Namaku Chen Jiang. Aku tidak akan membiarkan seorangpun membuat kerusuhan di tempat milik Liu Pang-cu (Ketua Liu)” jawab penghadang yang bernama Chen Jiang itu.

“Oh, jadi kau Hei Lung Tie Sou Chen Jiang (Chen Jiang si Naga Hitam Bertangan Besi) ?” tanya Yun Su sedikit heran.

“Anda terlalu memuji” jawab Chen Jiang singkat.

“Hahahah, kukira hari ini aku hanya akan bertemu dengan ikan teri saja ternyata ada juga ikan besar di sini. Inilah yang kusuka dari Chang An, selalu saja ada kejutan setiap hari” kata Yun Su dengan gembira dan bersemangat. Ia sama sekali tidak terlihat takut mendengar nama besar Chen Jiang.

“Tuan, anda kupersilakan meninggalkan tempat ini. Kami tidak menerima tamu seperti anda” kata Chen Jiang masih berusaha sopan.

“Cuh ! Tidak perlu berbasa-basi lagi ! Kalian dari Jai Sen Hui (Perkumpulan Dewa Uang) adalah antek-antek Permaisuri keparat itu ! Sekarang hadapilah aku !” bentak Yun Su sambil bersiap menyerang.

“Tahan !!”

Semua yang hadir langsung berhenti mendengar teriakan yang bernada amat berwibawa itu. Seorang pria berpakaian sutra halus berwarna hijau muda tampak berdiri di atas beranda lantai dua yang menghadap ke halaman belakang. Wajahnya yang tampan dengan kulit putih bersih, alis hitam tebal dan mata berkilat cerdik langsung menyiratkan kewibawaan yang besar. Bahkan Yun Su yang berangasan itu tampaknya tidak berani bertindak kurang ajar di hadapannya.

“Pendekar Chen, maafkan atas kelancangan adik seperguruanku. Kami akan mengganti semua kerusakan yang terjadi” kata pria itu sambil menjura.

“Terima kasih atas pengertiannya, Tuan Li Gao Yen” kata Chen Jiang balas menjura.

“Huh !” dengus Yun Su kesal sambil berpaling dan melemparkan segepok uang emas kepada Wu Niang dan meninggalkan halaman belakang itu.

“Sampai jumpa lagi” kata pria bernama Li Gao Yen itu sambil menjura.

“Semuanya kembali bersenang-senang yah. Sudah tidak ada apa-apa kok” kata Wu Niang menenangkan tamu-tamunya yang berkerumun di halaman belakang dan memberi isyarat agar para wanitanya segera mengajak para tamu kembali ke ruangan tengah.

“Wu Niang, kau tidak apa-apa ?” tanya Chen Jiang.

“Aduh, rasanya sakit sekali ditinju si badan besar kurang ajar itu” kata Wu Niang sambil mengernyit kesakitan.

“Untunglah dia tidak sungguh-sungguh” kata Chen Jiang.

“Hah ?!” tanya Wu Niang tidak percaya.

“Julukannya adalah Bao Chuen (Tinju Meriam). Jika dia tadi sungguh-sungguh meninjumu, maka pastilah tengkorak kepalamu akan remuk” kata Chen Jiang.

Wu Niang langsung melorot dan pingsan mendengar penjelasan Chen Jiang barusan. Para wanita penghibur langsung memapah dan memeganginya agar ia tidak terjatuh ke tanah. Wu Niang kemudian dibawa beramai-ramai ke kamarnya oleh mereka.

“Anak muda, kalau tidak punya kemampuan, jangan coba-coba mencari masalah. Lain kali mungkin tidak ada orang yang akan menyelamatkanmu” kata Chen Jiang.

“Terima kasih atas pertolongan tuan pendekar Chen” kata Han Li De sambil menjura.

“Tidak perlu terlalu sungkan. Siapa namamu anak muda ?” tanya Chen Jiang.

“Namaku Han Li De” jawab Han Li De.

“Han Li De ? Kau tuan muda dari Han Cia Cuang (Wisma Keluarga Han) ?”

tanya Chen Jiang tidak percaya.

“Benar” jawab Han Li De.

“Lebih baik kau pulang sekarang. Para pendekar Tung Jiang (Tembok Timur) bukanlah orang yang bisa kau ajak main-main. Kau harus ingat itu” kata Chen Jiang.

“Baik” jawab Han Li De sambil mengangguk dan menjura hormat kepada Chen Jiang yang berbalik pergi.

Saat itu Han Li De teringat akan pengemis buta yang dihajar oleh Yun Su. Kasihan sekali pengemis buta itu karena ia hampir pingsan dihajar. Meskipun Yun Su tidak mengeluarkan tenaga dalam sama sekali, tapi tubuh lemah si pengemis buta tidak mampu menerima hajaran dari lengan kekar Yun Su. Kedua pipinya biru matang dan bibirnya pecah berdarah.

“Paman, apakah paman sanggup berdiri ?” tanya Han Li De.

“Terima kasih, berikan saja tongkatku” jawab pengemis buta itu.

Han Li De mencarikan tongkat si pengemis buta yang terlempar ke semak-semak. Tangan pengemis buta yang gemetaran menerima tongkat itu menandakan ia masih amat ketakutan setelah kejadian barusan. Han Li De menjadi kasihan kepadanya.

“Paman, di manakah rumah tinggal paman ? Aku akan mengantar paman” tanya Han Li De.

“Rumahku di belakang sana, tidak jauh. Tidak perlu merepotkan tuan muda” kata pengemis buta itu.

“Tidak apa-apa paman. Mari kuantar” kata Han Li De.

“Terima kasih sekali” kata pengemis buta itu.

Han Li De dan pengemis buta itu keluar menuju pintu belakang dari halaman belakang itu. Ternyata memang benar kata si pengemis buta itu bahwa rumahnya tidak jauh. Baru saja mereka berjalan seratus langkah dari pintu belakang Paviliun Awan Merah, si pengemis buta itu berhenti di depan sebuah gubuk reyot di dekat sebuah lapangan.

“Tuan muda, ini rumahku. Terima kasih sekali telah mengantarku sampai kemari” kata pengemis buta itu.

“Tidak apa-apa” kata Han Li De.

“Aku miskin dan tidak punya apa-apa untuk disuguhkan kepada tuan muda. Aku merasa tidak enak” kata pengemis buta itu.

Tiba-tiba Han Li De teringat akan lagu yang dinyanyikan oleh pengemis buta tadi. Bukankah itu yang menyebabkan ia tertarik ?

“Paman, begini saja. Paman nyanyikan saja lagu yang tadi untukku. Itu saja sudah cukup” kata Han Li De.

“Benarkah tuan muda ingin mendengar laguku ?” tanya pengemis buta itu keheranan.

“Benar paman, nah anggap saja setelah menyanyikan lagu itu, paman sudah tidak berhutang apa-apa lagi denganku” kata Han Li De.

“Baiklah jika begitu” kata pengemis buta itu tersenyum.

Pengemis buta itu segera memegang ku-cin (sitar gesek) dan bersiap menyanyikan lagunya.

“ ……. Han muda meninggalkan rumah

Hati penuh luka dan amarah

Kehilangan kasih sayang ibunda tercinta

Ribuan li dari rumah

Han muda kembali dengan hati penuh nestapa

Menatap puing-puing kehancuran keluarga

Bertekad menegakkan kebenaran

Melawan iblis neraka dan manusia serakah

Han muda tanpa tandingan

Di Kolam Sembilan Naga menjadi yang terdepan

Tanpa takut melawan penguasa durjana

Meskipun harus kehilangan yang tercinta

Han muda pergi mengembara

Dan tidak kembali lagi demi orang-orang tercinta………….”

Pengemis buta itu mengakhiri gesekan sitarnya dengan menghela napas panjang. Han Li De dapat merasakan kesedihan yang mendalam dalam lagu yang dinyanyikan pengemis buta itu barusan. Kesedihan yang benar-benar mendalam dan tidak dibuat-buat. Seolah-olah pengemis buta itu yang mengalaminya sendiri.

“Paman, lagu yang paman bawakan amat sedih. Cerita itu mengenai siapakah ?” tanya Han Li De.

“Ceritanya panjang” jawab pengemis buta itu sambil menghela napas.

“Apakah ini cerita mengenai paman sendiri ?” tanya Han Li De memberanikan diri.

“Sebagian kecil saja” jawab pengemis buta itu.

“Aku merasa seperti pernah mengetahui kisah itu” kata Han Li De.

“Kisah ini memang benar-benar terjadi. Tapi sekarang semua orang sudah melupakannya dan hanya menganggapnya sebagai legenda saja” kata pengemis buta itu.

“Tentang apakah cerita paman itu ?” tanya Han Li De.

“Cerita tentang seorang pendekar budiman tanpa tanding yang mengasingkan diri ke utara” jawab pengemis buta itu.

“Apakah paman mengenalnya ?” tanya Han Li De lagi.

“Mengenalnya ? Ya, aku mengenalnya sejak ia masih kecil” jawab pengemis buta itu dengan mantap.

“Bolehkah aku tahu nama paman ?” tanya Han Li De semakin ingin tahu.

Nama ? Apakah nama seorang pengemis buta masih penting diingat ?” tanya pengemis buta itu sambil tersenyum getir.

“Jika paman tidak keberatan” kata Han Li De.

No comments:

Post a Comment